Minggu, 25 November 2007

Nasionalisme Kita, Nasionalisme Multikultur

Alif Lukmanul Hakim*
Published by Korwil on 12/Nov/2007 (19 reads)

Jerman, Inggris, Prancis, Italia, dan Yunani menjadi suatu negara bangsa karena kesamaan bahasa. Australia menjadi satu bangsa karena kesamaan wilayah daratan. Jepang, Korea, dan negara-negara di Timur Tengah menjadi satu negara karena kesamaan ras atau warna kulit dan latar belakang sosiokultural.Sementara itu, realitas kebangsaan Indonesia dipengaruhi latar belakang yang unik dan spesifik (Hakim, 2007: 104).
.
Substansi nasionalisme Indonesia memiliki dua unsur.
  • Pertama, kesadaran mengenai persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia yang terdiri atas berbagai suku, etnik, dan agama.
  • Kedua, kesadaran bersama bangsa Indonesia dalam menghapuskan segala bentuk pensubordinasian, penjajahan, dan penindasan dari bumi Indonesia.

Semangat dari dua substansi tersebutlah yang kemudian tercermin dalam Sumpah Pemuda dan Proklamasi serta dalam Pembukaan UUD 1945.

Berbicara tentang nasionalisme Indonesia, perlu dicatat bahwa kita tidak dapat menyepadankannya begitu saja dengan nasionalisme Barat. Nasionalisme Indonesia adalah nasionalisme berfondasi Pancasila. Nasionalisme yang bersenyawa dengan keadilan sosial, yang oleh Bung Karno disebut Socio-nasionalisme. Nasionalisme yang demikian ini menghendaki penghargaan, penghormatan, toleransi kepada bangsa atau suku bangsa lain. Maka nasionalisme Indonesia berbeda dengan nasionalisme Barat yang bisa menjurus kepada sikap chauvinistik dan ethnonationalism --nasionalisme sempit-- yang membenci bangsa atau suku bangsa lain, menganggap bangsa atau suku bangsa sendirilah yang paling bagus, paling unggul, sesuai dengan individualisme Barat.

Pertanyaannya sekarang, apakah benar demikian adanya nasionalisne Indonesia itu? Apakah nasionalisme Indonesia benar-benar telah berfondasikan Pancasila? Kita harus kembali terlebih dahulu pada apa yang disebut bangsa Indonesia sebenarnya mencakup pluralitas suku bangsa. Ia tidak kurang dari 250 kelompok etnis, atau --data terbaru-- bahkan menyebut mencakup tidak kurang dari 600 kelompok suku bangsa. Sehingga sebenarnya bila kriteria nation-state diterapkan, identitas state-nation lebih layak untuk disematkan pada Indonesia.

Dalam formasi masyarakat yang demikian, bangsa Indonesia akan terjangkiti dua penyakit.

Pertama, masyarakat yang terdiri dari beragam etnis sangat rentan akan terjadinya dominasi satu kelompok terhadap kelompok yang lain. Jika salah satu kelompok etnis mendominasi ruang-ruang publik kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, hal ini akan memancing perlawanan atau kontra dominasi dan kontra hegemoni dari kelompok etnis yang tersubordinasi atau termarginalkan. Celakanya, jika negara sebagai institusi formal gagal menyediakan medan dan sarana kontestasi publik dengan mekanisme pembagian kekuasaan yang jujur dan terbuka, konflik etnopolitiklah yang akan muncul sebagai akibatnya. Konflik etnopolitik adalah konflik yang melibatkan unsur-unsur sentimen etnik. Ada empat jenis gerakan etnopolitik, yakni ethnonationalist, indigenous people, communal contenders, dan ethnoclasses. Berdasarkan targetnya, dua jenis yang pertama (ethnonationalist dan indigenous people) digolongkan sebagai kelompok yang menghendaki pemisahan diri atau "otonomi" dari negara yang memerintah mereka. Sedangkan dua jenis kelompok yang terakhir, communal contenders dan ethnoclasses, tidak menghendaki pemisahan melainkan ingin mengupayakan akses yang lebih besar dari yang telah diberikan oleh negara yang memerintah mereka. Pengelompokan-pengelompokan ini sifatnya masih sangat tentatif, tetapi yang jelas, kesenjangan antaretnis dan antarkawasan adalah salah satu penyebab dan sumber permasalahan yang dapat menjelaskan berbagai pergolakan yang menuju pada disintegrasi bangsa.

Problem intrinsik yang kedua adalah nation-state cenderung untuk berwatak totaliter. Selama masa Orde Baru, totaliterisme dan otoritarianisme negara mengemuka begitu dahsyat. Negara, secara sentralistik dan hegemonik, mengatur semua segi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Akibatnya, hampir tidak ada ruang gerak bagi tumbuh dan berkembangnya civil society. Kesenjangan antara pusat dan daerah seakan sudah tidak mampu terjembatani lagi. Gejala otonomi daerah, meskipun mengandung banyak sekali distorsi, sepertinya adalah jalan tengah untuk mengurangi watak totaliter nation-state. Otonomi daerah dan penerapannya di lapangan memang memerlukan proses, namun diharapkan tidak memakan waktu yang lama dan ongkos sosial (social cost) yang terlampau mahal.

Ketika proses membangun bangsa Indonesia masih berjalan, muncul tantangan dan telikungan dari arus kapitalisme global sebagai corong globalisasi. Nasionalisme yang dapat dikembangkan saat ini adalah nasionalisme yang tidak lagi bercorak autarkis. Melainkan harus berlandaskan dua hal. Secara eksternal, nasionalisme yang harus dikembangkan adalah nasionalisme strategis.

Nasionalisme yang tidak menolak fakta globalisasi, namun tetap mengedepankan dan mendahulukan kepentingan nasional. Nasionalisme yang menjadikan pertarungan antarnegara atau kekuatan global sebagai musuh bersama (common enemy), dan bukan menempatkan suku bangsa, aliran, atau golongan masyarakat Indonesia sebagai entitas yang harus ditundukkan. Secara internal, bentuk nasionalisme yang harus diciptakan adalah nasionalisme kewargaan, nasionalisme yang dibangun berlandaskan nilai-nilai rasional sesuai Pancasila seperti, moralitas-ketuhanan, akuntabilitas publik atau transparansi, keadilan sosial, humanis, kebebasan individu dan hak-hak sipil lainnya.

Akhirnya, bentuk nasionalisme yang paling kompatibel untuk dikembangkan di Indonesia adalah spirit nasionalisme multikultural --nasionalisme strategis dan civic nationalism-- yang mampu menyinergikan ketiga domain utama yang ada, yakni negara (state), pasar (market), dan masyarakat luas (people). Dengan demikian, negara yang kuat, bersih, dan responsif serta menjamin hak-hak sipil warganya, vibrant civil society yang mantap-dinamis dan kehidupan usaha dan bisnis yang manusiawi serta bertanggung jawab bukanlah angan-angan di siang bolong an sich.***


* Penulis, Asisten Dosen di Fakultas Filsafat UGM. Dosen di Akademi Manajemen Putra Jaya Yogyakarta.
Sumber: Pikiran Rakyat, Senin, 12 November 2007

Kita Sekarang Ini Sudah Menjadi Bangsa Kuli Dan Kulinya Bangsa-Bangsa

Eva Kusuma Sundari:
Published by Korwil on 13/Nov/2007 (39 reads)

Di penghujung bulan Oktober 2007 yang baru lalu politisi PDI Perjuangan, anggota Komisi III (Komisi Hukum) DPR dari fraksi PDIP Eva Kusuma Sundari, yang dalam masa reses kebetulan sedang berada di Amsterdam, berkesempatan bincang-bincang dengan Redaksi Website Korwil PDI Perjuangan di Belanda. Berikut petikannya.
.
Belum lama ini Rakernas PDI Perjuangan telah menetapkan Megawati menjadi Capres. Bagaimana keterangan anda?
Ini ada alasan yang prinsip, bahwa di dalam negara demokrasi di manapun di dunia, yang pantas untuk menantang dalam kampanye Pemilu itu adalah oposisi. Tetapi kalau orang-orang didalam grup yang sama itu juga ingin mencalonkan, yang paling legitimite itu adalah yang kelompok oposisi. Itu alasan yang paling common-sense (berdasarkan pikiran sehat), yang paling sederhana saja. Dan Megawati memimpin satu-satunya partai yang ada di Indonesia yang men-declare (mengumumkan) sebagai partai oposisi. Jadi artinya yang paling legitimite (logis) untuk mencalonkan atau men-challenge (menantang) SBY adalah Megawati.
Tetapi jangan lupa, bahwa PDIP adalah partai yang sampai saat ini masih dikehendaki oleh rakyat. Dan dari polling (jajak pendapat) yang terakhir pun tampaknya masih mendapat kepercayaan yang besar dari masyarakat untuk memimpin negeri ini. Jadi bukan hanya kemauan partai itu sendiri, tetapi juga kemauan masyarakat. Jadi ada supply (persediaan), ada demand (permintaan). Itu tampaknya klop. Dan di dalam (internal) PDIP sendiri memang Ketua Umum itu kan Megawati Soekarnoputri. Di Rakornas PDIP yang terakhir, kita sudah menunjukkan kepada masyarakat, bahwa PDIP siap, dengan mengumpulkan 16.000 kader, kita adalah kelompok yang solid dan sesuai dengan polling-polling terakhir pun, PDIP sebagai partai terbesar, karena kalau saja Pemilu diadakan saat ini, PDIP lah yang menang. Tetapi pada saat yang sama, ternyata Mega adalah pesaing dari kelompok yang paling kuat. Dan saya melihatnya, Mega yang paling siap untuk bertarung didalam pemilihan presiden. Tidak seperti calon-calon lain yang tidak mau mengaku sejak awal, hanya pada saat-saat terakhir saja muncul.
Menurut saya, pendidikan politik yang diberikan PDI Perjuangan plus Megawati adalah suatu pendidikan politik yang baik, membuat kualitas demokrasi itu semakin mendalam. Sumbangan PDIP dan Megawati adalah meningkatkan demokrasi di Indonesia.
Dan jangan lupa Mega adalah representasi dari kelompok sipil, yang pada posisi terdepan ketika mengadakan konsolidasi demokrasi, pada saat tantangan demokrasi di Indonesia sedang pada posisi yang rumit. Ketika, misalkan, 32 tahun politik tidak bergerak. Saya melihatnya, Megawati mempunyai poin-poin yang pantas untuk didorong untuk maju kedepan. Karena kalau misalkan ada tantangan, Mega kan sudah pernah kalah. Tapi jangan lupa Mega juga adalah warganegara Indonesia. Itu haknya Mega juga kan untuk kemudian maju (running) lagi, seperti itu. Dan saya melihatnya 3 tahun pemerintahan Mega itu menumbuhkan harapan: harapan tentang martabat bangsa, harapan tentang perbaikan kondisi obyektif bangsa dan 3 tahun itu berisi keberhasilan-keberhasilan, dan bukan kegagalan-kegagalan.
Jadi bisa meneruskan 3 tahun yang sudah ditanam (invest) oleh Mega untuk dikomplitkan. Tidak pada seperti saat ini, kemiskinan makin tambah. Padahal APBN itu melompat hampir empat kali lipat. Tapi selama tiga tahun, Mega mampu menurunkan kemiskinan. Mega juga mampu menunjukkan kemandirian, juga posisinya tegas terhadap tekanan-tekanan internasional.
Jadi kita bilang, pada masa pemerintahan Mega yang berjalan hanya 3 tahun itu kepribadian muncul, martabat bangsa dijaga dan harapan sebagai bangsa juga diberikan oleh Mega.
.
Bagaimana tanggapan anda atas isu yang menilai kekalahan Mega dalam Pemilu Presiden tahun 2004, antara lain, karena kegagalan pemerintahannya?
Kalau kita melihat secara obyektif dalam perbandingan, mari kita lihat tiga tahun pemerintahan Mega itu hasilnya apa? Tetapi kalau pada hari H pertarungan, itu kan banyak sekali faktor-faktor yang mempengaruhi. Mungkin media yang kita tidak punya, yang bisa mengekspos berbagai kegiatan PDIP yang memihak kepentingan rakyat pada saat itu.
Mungkin juga publik relasi yang pada saat itu PDIP sangat lemah, sehingga tidak mampu mengkampanyekan, tidak mampu melaporkan keberhasilan-keberhasilan Mega dalam waktu tiga tahun itu.
Tapi kan data sudah berbicara banyak: kemiskinan turun, kemudian tidak ada lompatan living cost (biaya hidup) yang tinggi seperti saat ini dan seterusnya. Jadi saya melihatnya, kegagalan Mega dalam pertarungan bukan dalam kepemimpinan. Pertarungan pada saat election, dan itu kelemahan PDIP pada saat itu. Tidak mempunyai public relation yang bagus, jaringan kepada media yang lemah, dan itu yang coba kita koreksi pada masa PDIP menjadi partai oposisi saat ini.
Di internal partai, hanya Megawati satu-satunya calon Ketua Umum PDIP tanpa ada saingan. Proses pemilihan Ketum partai yang hanya memilih satu calon Ketum saja, tanpa ada satu calon lain sebagai saingannya dinilai tidak demokratis. Pendapat anda? Saya melihatnya kan isunya disini adalah apa yang bisa dilakukan oleh Mega. Itu yang bisa menjawab tentang gugatan-gugatan dari internal partai dari kelompoknya Roy BB Janis, misalnya.
Kalau didalam kepemimpinan Megawati siapa yang sekarang bisa menegasikan, bahwa PDIP satu-satunya partai yang beres dalam mengkonsolidasi dalam dua tahun terakhir ini?
Tidak ada partai dimanapun yang berhasil mengadakan konsolidasi secara demokratis, selain PDIP, dimana pemilihannya mulai ranting, kemudian cabang dan seterusnya. Ada partai yang memang tidak ada perpecahan. Tetapi apakah itu prosesnya demokratis, kalau semuanya ditentukan dari atas, misalkan oleh Dewan Syuronya.
Dan jangan lupa bahwa demokrasi yang kita percayai ala Indonesia adalah demokrasi perwakilan, bukan demokrasi ala pasar bebas dimana siapapun boleh mencalonkan. Tetapi siapa yang terbaik terbaik yang diputuskan secara musyawarah dan itu adalah yang terbaik bagi kita. Dan juga jangan lupa, bahwa Megawati itu yang menyelamatkan partai lepas dari perpecahan. Jika ada riak kecil itu karena memang desakan-desakan yang sifatnya personal.
Tapi kan ternyata lebih banyak yang puas dari pada yang tidak puas. Dan Megawati sudah membuktikan, dalam dua tahun ini PDIP adalah partai yang paling solid, partai yang paling diminati, partai yang dimanapun pollingnya tertinggi sebagai partai yang besar atau partai terbesar bahkan. Jadi saya melihatnya jangan sampai ketidakpuasan personal ini dipakai menggenalisir ketidakpuasan yang ada di PDIP. Dan PDIP adalah satu-satunya partai yang melaksanakan konsolidasi demokrasi secara demokratis. Siapapun tahu tentang hal ini.
.
Sekarang Mega maju lagi untuk calon presiden. Kebijakan (policy) PDIP yang bagaimanakah yang ditawarkan Megawati untuk rakyat?
Nah, kita sudah belajar, sebetulnya ada banyak faktor yang belum kita olah untuk menjadi semacam policy paper atau platform. Saya mau kasih contoh, misalkan, di mana penerima award (pemberian) otonomi daerah yang kader-kader PDIP itu menjalankan kebijakan-kebijakan yang keuangan transparansi, yang penggratisan kesehatan dan pendidikan, kemudian juga sekolah sampai sembilan tahun bebas dan seterusnya.
Mereka adalah kader-kader PDIP yang sebetulnya merupakan fakta dan realitas, bahwa bukan hanya pada tingkat nasional, bahkan ditingkat permerintah yang paling bawahpun PDIP sudah menunjukkan ada prestasi dan ada ideologi disana.
Ideologi yang berhasil diwujudkan dalam policy-policy (kebijakan-kebijakan) didalam pemerintahan, terutama di pemerintahan lokal. Ideologi itu tentu saja merupakan turunan dari Pancasila 1 Juni 1945, yang dimana disitu ada keadilannya, ada kerakyatannya. Kalau kita bicara dengan bahasa yang paling gampang adalah kebijakan-kebijakan yang pro rakyat atau policy pro wong cilik.
Tetapi saya ingin meluruskan disini, bahwa wong cilik yang dimaksud didalam PDI Perjuangan adalah wong cilik yang pekerja – kelompok-kelompok buruh, petani, nelayan yang bekerja keras, yang karena sistem yang tidak adil membuat mereka tidak dapat menerima reward (upah/pendapatan) dari keringat mereka secara layak.
Jadi fokus kita adalah bagaimana membuat policy-policy (kebijakan-kebijakan) publik yang menghargai dan memberikan reward (upah/pendapat) yang pantas bagi pekerja-pekerja di kelas bawah ini.
.
Bagaimana konkretnya program yang akan dijalankan oleh Megawati jika beliau terpilih menjadi presiden?
Nah, yang paling penting kita sedang mencoba mengimplementasikannya adalah pemberian asuransi untuk semua anggota PDI Perjuangan mulai dari atas sampai ranting secara keseluruhan melalui kebijakan KTA (kartu tanda anggota).
Nah, KTA ini yang kemudian nanti berfungsi sebagai kartu yang bisa untuk dipakai akses untuk menerima asuransi, baik kesehatan, kecelakaan maupun kita upayakan ke pendidikan.
Jadi kita cobakan di internal PDI Perjuangan sendiri bekerjasama dengan asuransi yang paling murah. Nah, kalau ini kemudian bisa dibuktikan oleh PDI Perjuangan, maka ini harusnya diformulasi ditingkat nasional.
Karena ini memang proteksi untuk kelompok-kelompok lemah. Dan asuransi ini yang sedang kita matangkan, kita finalkan dan kalau sudah punya bukti, maka kita akan lebih gampang untuk mengadvokasi untuk policy ditingkat nasional. Tapi yang paling penting, Mega dan PDI Perjuangan itu kan pada keputusan Rakornas yang terakhir adalah menjaga martabat bangsa.
Dan ini yang paling menjadi kebutuhan pada saat ini, dimana para pimpinan di tingkat nasional lebih tunduk kepada dikte-dikte internasional daripada kepentingan dalam negeri. Dan ini melanjutkan politik berdikari yang sudah dimulai oleh Megawati pada masa 3 tahun pemerintahannya.
Kemandirian ini tidak hanya kemandirian politik, tapi juga harus dilanjutkan dengan kemandirian dibidang ekonomi terutama dibidang financial (keuangan) dan Megawati adalah presiden pertama yang bisa membayar hutang dan bahkan menghentikan pada saat itu untuk tidak menambah hutang baru. Ini merupakan indikasi, bahwa prinsip kemandirian dibidang ekonomi sudah dibuktikan, sudah dimulai oleh Megawati.
Bukan hanya itu, tapi juga kemandirian dibidang energi, sesuatu yang menjadi wilayah yang sangat sensitif, wilayah yang menjadi perang didalam geopolitik internasional, terutama ketika Megawati dengan kukuh membela kepentingan Pertamina. Megawati justru kemudian tidak memberikan kepada pihak-pihak asing untuk mengeksplorasi, agar bisa memperkuat industri didalam negeri.dan seterusnya.
Juga kedaulatan dibidang pangan ini juga hendak kita wujudkan, kita komplitkan, kita kongkretisasi untuk mendorong pertanian dalam negeri agar mampu berswasembada dan kemudian mampu untuk memenuhi kebutuhan sendiri.
Sekaitan dengan modal asing, apa bedanya politik terhadap modal asing yang akan dijalankan Mega dibanding dengan yang dijalankan oleh pemerintah yang sekarang ini? Kebijakan kita memang bukan kebijakan yang menutup diri terhadap perekonomian internasional. Tapi bukan berarti kemudian menyerahkan diri kita kepada dikte-dikte internasional dibidang ekonomi. Dibidang permodalan, sudah ditunjukkan dengan policy fraksi PDI Perjuangan, bagaimana fraksi tidak menyetujui dari UU Permodalan yang terbaru, misalkan, isu tentang sewa: sewa yang 95 tahun, kemudian permodalan share nya 100% asing diperbolehkan dan seterusnya.
PDIP menentang hal itu. Kalau PDI Perjuangan berkuasa, maka ini akan ditata ulang, sehingga permodalan lebih proporsional dan lebih adil bagi kepentingan nasional.
.
Tampaknya masalah pertanian Indonesia sekarang ini perlu kebijakan yang tepat, agar kehidupan para petani membaik. Bagaimana menurut anda?
Sebetulnya untuk pertanian, sejak awal kita memang tahu bahwa pertanian itu tempat dimana lebih 66% penduduk masyarakat menggantungkan hidup disana.
Bukan hanya pertanian, untuk para nelayan Mega juga sudah melaksanakan kebijakan konkret, misalkan, dengan membuat pompa-pompa solar sepanjang pantura (pantai utara) pulau Jawa. Sehingga menjamin penopangan upaya nelayan untuk mendapat pasokan energi.
Untuk pertanian, PDIP sudah menemukan salah seorang kader yang dengan kecerdasannya mampu menemukan benih bibit unggul untuk pertanian padi. Dan departemen tani nelayan sedang membuat proyek dimana nanti pada akhirnya kita buktikan kepada masyarakat, bibit yang ditemukan oleh kader PDIP itu justru yang lebih unggul, lebih berkualitas, lebih mampu bersaing dan bisa mengatasi hama-hama yang ada.
Nah, proyek ini akan dibuktikan oleh PDI Perjuangan, dan kita menargetkan 1 juta hektar tanah ditanami dengan bibit unggul tersebut. Proyek yang pertama dilaksanakan di Jawa Tengah, dan sudah mampu menunjukkan hasil, dimana untuk bibit padi delapan kali dari hasil yang normal.
Nah, ini PDI Perjuangan bukan hanya berslogan, bukan hanya berpropaganda, tetapi sudah merintis proyek-proyek yang nantinya akan mendukung apa yang kita mau tuju sebagai kedaulatan pangan melalui petani. Itulah arah ke sana yang sedang kita rintis, dan partai langsung turun tangan ke sana. Jadi rekapitalisasi pertanian dimulai dari memperkuat kelompok petani itu sendiri dan mengurangi kebijakan-kebijakan yang membuat petani tidak berdaya, termasuk pada masalah distribusi pupuk. Bukan hanya pupuk yang anorganik yang kita kelola, tetapi juga kita mencoba memperkuat upaya-upaya tanaman-tanaman bibit-bibit pertanian yang tidak membutuhkan pupuk anorganik.
.
Bagaimana konkretnya, kebijakan ekonomi apa yang ingin dijalankan oleh PDIP dalam perjuangannya untuk kepentingan “wong cilik”?
Ini kan sebetulnya isunya tentang politik kebijakan ekonomi. Nah, politik kebijakan ekonomi kan ditentukan oleh para pimpinan. Ketika politik kebijakan ekonomi kita adalah dengan menaruh leher kita kepada kepentingan internasional, maka konsekuensinya sekarang ini, dimana kita kalau memakai istilahnya Bung Karno, kita sekarang ini sudah menjadi bangsa kuli dan kulinya bangsa-bangsa. Dan itu makin terwujud, kalau kita kaitakan dengan isu TKW kita.
Bagaimana kita menjadi bangsa yang terhina, bangsa yang dipinggirkan bahkan oleh tetangga kita. Dimana tetangga kita sudah sangat tidak menghormati, bahkan beberapa batas wilayah diperluas oleh mereka sendiri, sedangkan para pemimpin Indonesia sekarang ini marah nggak, tersinggung nggak.
Kan lucu. Berita terakhir, isteri diplomat Indonesai itu ditangkap oleh pasukan RELA di Malaysia, setelah satu bulan yang lalu wasit nasional Indonesia juga diperlakukan yang sama, yang sangat merendahkan Indonesia.
Tetapi karena pimpinannya (Indonesia – Red.) sekarang tidak tegas, makanya PDI Perjuangan kemudian pada Rakornasnya yang terakhir bilang: “Martabat bangsa harus diselamatkan”. Caranya bagaimana? Kemandirian , kedaulatan itu harus menjadi kata kunci menjadi roh didalam politik nasional kita, baik politik luar negeri, politik kebijakan ekonomi, dan juga politik kebijakan nasional yang lainnya.
.
Bagaimana pendidikan tentang apa yang sering didengungkan oleh para founding fathers kita tentang “nation and character building” sekarang ini ?
Itu yang salah satu yang dicemaskan oleh PDI Perjuangan, dimana pendidikan nasional sudah mengikuti logika pasar, sehingga bukan lagi menjadi bagian dari proyek “nation and character buliding”, dimana disitu tidak ada pendidikan-pendidikan untuk kebangsaan tetapi lebih kepada pendidikan-pendidikan yang teknis, yang tidak membangkitkan rasa nasionalisme.
Bahkan yang lebih menyedihkan justru pendidikan dipakai juga alat untuk mendelegitimasi Pancasila. Misalkan di beberapa pendidikan ekstra kurikuler justru dipakai untuk menginplant (menanamkan) kepercayaan-kepercayaan ataupun ideologi yang tidak sesuai dengan Pancasila.
Misalkan, tentang syariat Islam yang kemudian itu diinstitusionalisasikan melalui kebijakan-kebijakan daerah, melalui perda-perda Islam, yang sangat diskriminatif terhadap perempuan.
Dan ini kan tidak sesuai dengan prinsip equility before the law (semua orang sama di depan hukum) yang sudah kita junjung dan terutama sila kedua kemanusiaan yang adil dan beradab, karena tiba-tiba ada manusia yang lebih tinggi dan ada manusia yang lebih rendah berbasis pada seksual, sekarang dilanjutkan berbasis pada agama. Ini kan sesuatu yang tidak Pancasilais dan ternyata pendelegitimasian Pancasila justru yang paling efektif dilaksanakan melalui pendidikan. Baik pendidikan formal maupun pendidikan nonformal.
Jadi tawaran kita berikutnya adalah bagaimana melanjutkan dan menjamin agar proyek “nation and character building” ini berlanjut pada pemerintahan Megawati yang akan datang, kalau menang. *****

Lee Kuan Yew Temui Ketua Umum PDI Perjuangan: Megawati Dimintai Kawal Pancasila

Tuesday, 14 August 2007 :
Jakarta, Suluh Perjuangan
.

Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri saat menerima kunjungan mantan Perdana Menteri Singapura Lee Kwan Yew di kediaman Jl. Teuku Umar 26-27.
Dalam kesempatan tersebut Lee mengatakan bahwa Pancasila merupakan dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia yang paling tepat. Dan sebagai pemimpin salah satu partai politik besar, Megawati merupakan pemimpin yang tepat untuk mengawal Pancasila. [Foto: Media Indonesia]
.
Dalam kunjungannya selama beberapa hari di Indonesia, mantan Perdana Menteri Singapura, Lee Kuan Yew, secara khusus menemui Ketua Umum PDI Perjuangan, Hj Megawati Soekarnoputri, di kediamannya Jalan Teuku Umar, Jakarta Pusat pekan lalu (26/7).
Pertemuan yang semula dijadwalkan hanya 10 menit itu, akhirnya memakan waktu hampir satu jam. "Kalau saya dan beliau bertemu, kami ingin selalu berbicara segala hal," jelas Megawati tentang pertemuan itu. "Beliau menanyakan bagaimana situasi di Indonesia dari prospek pandangan saya dan saya juga mencoba menerangkannya dengan baik, dan beliau memberikan pandangan-pandangannya mengenai kondisi di sini," papar Megawati setelah mengantarkan Lee.Tetapi HM Taufiq Kiemas, yang menemani Ketua Umum PDI Perjuangan itu mengungkapkan materi pembicaraan mereka. "Beliau sangat senang sekali bicara soal pluralisme di Indonesia dan Pancasila yang bisa untuk menghadapi gerakan-gerakan radikal dari luar yang bisa masuk ke Indonesia," kata Ketua Deperpu PDI Perjuangan itu.
.
Dalam pertemuan selama sekitar satu jam itu Lee mengharapkan Ketua Umum PDI Perjuangan itu terus menegakkan Pancasila sebagai dasar negara Indonesia. Megawati mengatakan, memang sudah dengan sendirinya dia dan partainya beserta seluruh rakyat Indonesia mempertahankan Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila. Dalam hal ini Taufiq Kiemas menambahkan, untuk menjaga pluralisme di Indonesia, kalau hanya dilakukan PDI Perjuangan tidak mungkin, jadi perlu dilakukan bersama partai-partai lain serta Tentara Nasional Indonesia."Saya sependapat jika Indonesia dikatakan banyak partai," kata Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri saat diminta komentarnya mengenai statemen mantan PM Singapura Lee Kuan Yew bahwa Indonesia punya banyak sekali partai.
Menurut Megawati, banyak partai memang merupakan cerminan demokrasi. Namun bukan berarti tanpa rambu-rambu. Sebab kalau tidak, bisa-bisa repot. "Harus ada aturan yang lebih tegas, siapa yang boleh ikut lagi dalam pemilu. Karena kalau tidak, maka akan lebih banyak partai dan repot," kata Megawati. "Yang harus kita lakukan adalah kematangan berpikir dan pendewasaan demokrasi," lanjutnya.
.
Masalah perjanjian kerja sama pertahanan antar dua negara (DCA) juga menjadi salah satu pembicaraan, tapi menurut Megawati, Lee menolak untuk berkomentar. "Beliau orang yang sangat tahu aturan. Jadi kalau masalah yang sekarang sedang menjadi pembicaraan, terutama di DPR, masalah pertahanan dan masalah ekstradisi itu, itu adalah masalah internal Indonesia," kata Megawati. Lebih jauh, Megawati mengemukakan bahwa masalah DCA dan ekstradisi harusnya menjadi masalah internal bangsa Indonesia, tidak seharusnya menjadi tugas Lee. "Mengenai masalah perjanjian yang sekarang dibahas, menurut saya dan saya juga mengatakan kepada beliau itu adalah masalah kami. Kami yang harusnya yang membereskan terlebih dahulu, bukannya beliau yang datang ke sini untuk mengurusi rumah tangga kita," kata Megawati.
.
Dasar Negara yang Tepat
Peneliti LIPI, Asviwarman Adam, mengemukakan, harapan mantan Perdana Menteri Singapura, Lee Kuan Yew, agar Ketua Umum PDI Perjuangan Hj Megawati Soekarnoputri mengawal Pancasila, tentu dilatarbelakangi oleh keyakinan Lee bahwa Pancasila merupakan dasar negara yang tepat bagi bangsa Indonesia. Saat ini, jelas Asvimarwan Adam, kita memang menghadapi tantangan globalisasi seperti rembesan gerakan radikal dari luar negeri, serta upaya pihak-pihak tertentu di dalam negeri untuk kembali ke Piagam Jakarta. Karena itu Lee menilai Megawati, yang merupakan pimpinan salah satu partai nasionalis terbesar di indonesia, tepat untuk mengawal Pancasila.