Minggu, 25 November 2007

Nasionalisme Kita, Nasionalisme Multikultur

Alif Lukmanul Hakim*
Published by Korwil on 12/Nov/2007 (19 reads)

Jerman, Inggris, Prancis, Italia, dan Yunani menjadi suatu negara bangsa karena kesamaan bahasa. Australia menjadi satu bangsa karena kesamaan wilayah daratan. Jepang, Korea, dan negara-negara di Timur Tengah menjadi satu negara karena kesamaan ras atau warna kulit dan latar belakang sosiokultural.Sementara itu, realitas kebangsaan Indonesia dipengaruhi latar belakang yang unik dan spesifik (Hakim, 2007: 104).
.
Substansi nasionalisme Indonesia memiliki dua unsur.
  • Pertama, kesadaran mengenai persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia yang terdiri atas berbagai suku, etnik, dan agama.
  • Kedua, kesadaran bersama bangsa Indonesia dalam menghapuskan segala bentuk pensubordinasian, penjajahan, dan penindasan dari bumi Indonesia.

Semangat dari dua substansi tersebutlah yang kemudian tercermin dalam Sumpah Pemuda dan Proklamasi serta dalam Pembukaan UUD 1945.

Berbicara tentang nasionalisme Indonesia, perlu dicatat bahwa kita tidak dapat menyepadankannya begitu saja dengan nasionalisme Barat. Nasionalisme Indonesia adalah nasionalisme berfondasi Pancasila. Nasionalisme yang bersenyawa dengan keadilan sosial, yang oleh Bung Karno disebut Socio-nasionalisme. Nasionalisme yang demikian ini menghendaki penghargaan, penghormatan, toleransi kepada bangsa atau suku bangsa lain. Maka nasionalisme Indonesia berbeda dengan nasionalisme Barat yang bisa menjurus kepada sikap chauvinistik dan ethnonationalism --nasionalisme sempit-- yang membenci bangsa atau suku bangsa lain, menganggap bangsa atau suku bangsa sendirilah yang paling bagus, paling unggul, sesuai dengan individualisme Barat.

Pertanyaannya sekarang, apakah benar demikian adanya nasionalisne Indonesia itu? Apakah nasionalisme Indonesia benar-benar telah berfondasikan Pancasila? Kita harus kembali terlebih dahulu pada apa yang disebut bangsa Indonesia sebenarnya mencakup pluralitas suku bangsa. Ia tidak kurang dari 250 kelompok etnis, atau --data terbaru-- bahkan menyebut mencakup tidak kurang dari 600 kelompok suku bangsa. Sehingga sebenarnya bila kriteria nation-state diterapkan, identitas state-nation lebih layak untuk disematkan pada Indonesia.

Dalam formasi masyarakat yang demikian, bangsa Indonesia akan terjangkiti dua penyakit.

Pertama, masyarakat yang terdiri dari beragam etnis sangat rentan akan terjadinya dominasi satu kelompok terhadap kelompok yang lain. Jika salah satu kelompok etnis mendominasi ruang-ruang publik kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, hal ini akan memancing perlawanan atau kontra dominasi dan kontra hegemoni dari kelompok etnis yang tersubordinasi atau termarginalkan. Celakanya, jika negara sebagai institusi formal gagal menyediakan medan dan sarana kontestasi publik dengan mekanisme pembagian kekuasaan yang jujur dan terbuka, konflik etnopolitiklah yang akan muncul sebagai akibatnya. Konflik etnopolitik adalah konflik yang melibatkan unsur-unsur sentimen etnik. Ada empat jenis gerakan etnopolitik, yakni ethnonationalist, indigenous people, communal contenders, dan ethnoclasses. Berdasarkan targetnya, dua jenis yang pertama (ethnonationalist dan indigenous people) digolongkan sebagai kelompok yang menghendaki pemisahan diri atau "otonomi" dari negara yang memerintah mereka. Sedangkan dua jenis kelompok yang terakhir, communal contenders dan ethnoclasses, tidak menghendaki pemisahan melainkan ingin mengupayakan akses yang lebih besar dari yang telah diberikan oleh negara yang memerintah mereka. Pengelompokan-pengelompokan ini sifatnya masih sangat tentatif, tetapi yang jelas, kesenjangan antaretnis dan antarkawasan adalah salah satu penyebab dan sumber permasalahan yang dapat menjelaskan berbagai pergolakan yang menuju pada disintegrasi bangsa.

Problem intrinsik yang kedua adalah nation-state cenderung untuk berwatak totaliter. Selama masa Orde Baru, totaliterisme dan otoritarianisme negara mengemuka begitu dahsyat. Negara, secara sentralistik dan hegemonik, mengatur semua segi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Akibatnya, hampir tidak ada ruang gerak bagi tumbuh dan berkembangnya civil society. Kesenjangan antara pusat dan daerah seakan sudah tidak mampu terjembatani lagi. Gejala otonomi daerah, meskipun mengandung banyak sekali distorsi, sepertinya adalah jalan tengah untuk mengurangi watak totaliter nation-state. Otonomi daerah dan penerapannya di lapangan memang memerlukan proses, namun diharapkan tidak memakan waktu yang lama dan ongkos sosial (social cost) yang terlampau mahal.

Ketika proses membangun bangsa Indonesia masih berjalan, muncul tantangan dan telikungan dari arus kapitalisme global sebagai corong globalisasi. Nasionalisme yang dapat dikembangkan saat ini adalah nasionalisme yang tidak lagi bercorak autarkis. Melainkan harus berlandaskan dua hal. Secara eksternal, nasionalisme yang harus dikembangkan adalah nasionalisme strategis.

Nasionalisme yang tidak menolak fakta globalisasi, namun tetap mengedepankan dan mendahulukan kepentingan nasional. Nasionalisme yang menjadikan pertarungan antarnegara atau kekuatan global sebagai musuh bersama (common enemy), dan bukan menempatkan suku bangsa, aliran, atau golongan masyarakat Indonesia sebagai entitas yang harus ditundukkan. Secara internal, bentuk nasionalisme yang harus diciptakan adalah nasionalisme kewargaan, nasionalisme yang dibangun berlandaskan nilai-nilai rasional sesuai Pancasila seperti, moralitas-ketuhanan, akuntabilitas publik atau transparansi, keadilan sosial, humanis, kebebasan individu dan hak-hak sipil lainnya.

Akhirnya, bentuk nasionalisme yang paling kompatibel untuk dikembangkan di Indonesia adalah spirit nasionalisme multikultural --nasionalisme strategis dan civic nationalism-- yang mampu menyinergikan ketiga domain utama yang ada, yakni negara (state), pasar (market), dan masyarakat luas (people). Dengan demikian, negara yang kuat, bersih, dan responsif serta menjamin hak-hak sipil warganya, vibrant civil society yang mantap-dinamis dan kehidupan usaha dan bisnis yang manusiawi serta bertanggung jawab bukanlah angan-angan di siang bolong an sich.***


* Penulis, Asisten Dosen di Fakultas Filsafat UGM. Dosen di Akademi Manajemen Putra Jaya Yogyakarta.
Sumber: Pikiran Rakyat, Senin, 12 November 2007

Kita Sekarang Ini Sudah Menjadi Bangsa Kuli Dan Kulinya Bangsa-Bangsa

Eva Kusuma Sundari:
Published by Korwil on 13/Nov/2007 (39 reads)

Di penghujung bulan Oktober 2007 yang baru lalu politisi PDI Perjuangan, anggota Komisi III (Komisi Hukum) DPR dari fraksi PDIP Eva Kusuma Sundari, yang dalam masa reses kebetulan sedang berada di Amsterdam, berkesempatan bincang-bincang dengan Redaksi Website Korwil PDI Perjuangan di Belanda. Berikut petikannya.
.
Belum lama ini Rakernas PDI Perjuangan telah menetapkan Megawati menjadi Capres. Bagaimana keterangan anda?
Ini ada alasan yang prinsip, bahwa di dalam negara demokrasi di manapun di dunia, yang pantas untuk menantang dalam kampanye Pemilu itu adalah oposisi. Tetapi kalau orang-orang didalam grup yang sama itu juga ingin mencalonkan, yang paling legitimite itu adalah yang kelompok oposisi. Itu alasan yang paling common-sense (berdasarkan pikiran sehat), yang paling sederhana saja. Dan Megawati memimpin satu-satunya partai yang ada di Indonesia yang men-declare (mengumumkan) sebagai partai oposisi. Jadi artinya yang paling legitimite (logis) untuk mencalonkan atau men-challenge (menantang) SBY adalah Megawati.
Tetapi jangan lupa, bahwa PDIP adalah partai yang sampai saat ini masih dikehendaki oleh rakyat. Dan dari polling (jajak pendapat) yang terakhir pun tampaknya masih mendapat kepercayaan yang besar dari masyarakat untuk memimpin negeri ini. Jadi bukan hanya kemauan partai itu sendiri, tetapi juga kemauan masyarakat. Jadi ada supply (persediaan), ada demand (permintaan). Itu tampaknya klop. Dan di dalam (internal) PDIP sendiri memang Ketua Umum itu kan Megawati Soekarnoputri. Di Rakornas PDIP yang terakhir, kita sudah menunjukkan kepada masyarakat, bahwa PDIP siap, dengan mengumpulkan 16.000 kader, kita adalah kelompok yang solid dan sesuai dengan polling-polling terakhir pun, PDIP sebagai partai terbesar, karena kalau saja Pemilu diadakan saat ini, PDIP lah yang menang. Tetapi pada saat yang sama, ternyata Mega adalah pesaing dari kelompok yang paling kuat. Dan saya melihatnya, Mega yang paling siap untuk bertarung didalam pemilihan presiden. Tidak seperti calon-calon lain yang tidak mau mengaku sejak awal, hanya pada saat-saat terakhir saja muncul.
Menurut saya, pendidikan politik yang diberikan PDI Perjuangan plus Megawati adalah suatu pendidikan politik yang baik, membuat kualitas demokrasi itu semakin mendalam. Sumbangan PDIP dan Megawati adalah meningkatkan demokrasi di Indonesia.
Dan jangan lupa Mega adalah representasi dari kelompok sipil, yang pada posisi terdepan ketika mengadakan konsolidasi demokrasi, pada saat tantangan demokrasi di Indonesia sedang pada posisi yang rumit. Ketika, misalkan, 32 tahun politik tidak bergerak. Saya melihatnya, Megawati mempunyai poin-poin yang pantas untuk didorong untuk maju kedepan. Karena kalau misalkan ada tantangan, Mega kan sudah pernah kalah. Tapi jangan lupa Mega juga adalah warganegara Indonesia. Itu haknya Mega juga kan untuk kemudian maju (running) lagi, seperti itu. Dan saya melihatnya 3 tahun pemerintahan Mega itu menumbuhkan harapan: harapan tentang martabat bangsa, harapan tentang perbaikan kondisi obyektif bangsa dan 3 tahun itu berisi keberhasilan-keberhasilan, dan bukan kegagalan-kegagalan.
Jadi bisa meneruskan 3 tahun yang sudah ditanam (invest) oleh Mega untuk dikomplitkan. Tidak pada seperti saat ini, kemiskinan makin tambah. Padahal APBN itu melompat hampir empat kali lipat. Tapi selama tiga tahun, Mega mampu menurunkan kemiskinan. Mega juga mampu menunjukkan kemandirian, juga posisinya tegas terhadap tekanan-tekanan internasional.
Jadi kita bilang, pada masa pemerintahan Mega yang berjalan hanya 3 tahun itu kepribadian muncul, martabat bangsa dijaga dan harapan sebagai bangsa juga diberikan oleh Mega.
.
Bagaimana tanggapan anda atas isu yang menilai kekalahan Mega dalam Pemilu Presiden tahun 2004, antara lain, karena kegagalan pemerintahannya?
Kalau kita melihat secara obyektif dalam perbandingan, mari kita lihat tiga tahun pemerintahan Mega itu hasilnya apa? Tetapi kalau pada hari H pertarungan, itu kan banyak sekali faktor-faktor yang mempengaruhi. Mungkin media yang kita tidak punya, yang bisa mengekspos berbagai kegiatan PDIP yang memihak kepentingan rakyat pada saat itu.
Mungkin juga publik relasi yang pada saat itu PDIP sangat lemah, sehingga tidak mampu mengkampanyekan, tidak mampu melaporkan keberhasilan-keberhasilan Mega dalam waktu tiga tahun itu.
Tapi kan data sudah berbicara banyak: kemiskinan turun, kemudian tidak ada lompatan living cost (biaya hidup) yang tinggi seperti saat ini dan seterusnya. Jadi saya melihatnya, kegagalan Mega dalam pertarungan bukan dalam kepemimpinan. Pertarungan pada saat election, dan itu kelemahan PDIP pada saat itu. Tidak mempunyai public relation yang bagus, jaringan kepada media yang lemah, dan itu yang coba kita koreksi pada masa PDIP menjadi partai oposisi saat ini.
Di internal partai, hanya Megawati satu-satunya calon Ketua Umum PDIP tanpa ada saingan. Proses pemilihan Ketum partai yang hanya memilih satu calon Ketum saja, tanpa ada satu calon lain sebagai saingannya dinilai tidak demokratis. Pendapat anda? Saya melihatnya kan isunya disini adalah apa yang bisa dilakukan oleh Mega. Itu yang bisa menjawab tentang gugatan-gugatan dari internal partai dari kelompoknya Roy BB Janis, misalnya.
Kalau didalam kepemimpinan Megawati siapa yang sekarang bisa menegasikan, bahwa PDIP satu-satunya partai yang beres dalam mengkonsolidasi dalam dua tahun terakhir ini?
Tidak ada partai dimanapun yang berhasil mengadakan konsolidasi secara demokratis, selain PDIP, dimana pemilihannya mulai ranting, kemudian cabang dan seterusnya. Ada partai yang memang tidak ada perpecahan. Tetapi apakah itu prosesnya demokratis, kalau semuanya ditentukan dari atas, misalkan oleh Dewan Syuronya.
Dan jangan lupa bahwa demokrasi yang kita percayai ala Indonesia adalah demokrasi perwakilan, bukan demokrasi ala pasar bebas dimana siapapun boleh mencalonkan. Tetapi siapa yang terbaik terbaik yang diputuskan secara musyawarah dan itu adalah yang terbaik bagi kita. Dan juga jangan lupa, bahwa Megawati itu yang menyelamatkan partai lepas dari perpecahan. Jika ada riak kecil itu karena memang desakan-desakan yang sifatnya personal.
Tapi kan ternyata lebih banyak yang puas dari pada yang tidak puas. Dan Megawati sudah membuktikan, dalam dua tahun ini PDIP adalah partai yang paling solid, partai yang paling diminati, partai yang dimanapun pollingnya tertinggi sebagai partai yang besar atau partai terbesar bahkan. Jadi saya melihatnya jangan sampai ketidakpuasan personal ini dipakai menggenalisir ketidakpuasan yang ada di PDIP. Dan PDIP adalah satu-satunya partai yang melaksanakan konsolidasi demokrasi secara demokratis. Siapapun tahu tentang hal ini.
.
Sekarang Mega maju lagi untuk calon presiden. Kebijakan (policy) PDIP yang bagaimanakah yang ditawarkan Megawati untuk rakyat?
Nah, kita sudah belajar, sebetulnya ada banyak faktor yang belum kita olah untuk menjadi semacam policy paper atau platform. Saya mau kasih contoh, misalkan, di mana penerima award (pemberian) otonomi daerah yang kader-kader PDIP itu menjalankan kebijakan-kebijakan yang keuangan transparansi, yang penggratisan kesehatan dan pendidikan, kemudian juga sekolah sampai sembilan tahun bebas dan seterusnya.
Mereka adalah kader-kader PDIP yang sebetulnya merupakan fakta dan realitas, bahwa bukan hanya pada tingkat nasional, bahkan ditingkat permerintah yang paling bawahpun PDIP sudah menunjukkan ada prestasi dan ada ideologi disana.
Ideologi yang berhasil diwujudkan dalam policy-policy (kebijakan-kebijakan) didalam pemerintahan, terutama di pemerintahan lokal. Ideologi itu tentu saja merupakan turunan dari Pancasila 1 Juni 1945, yang dimana disitu ada keadilannya, ada kerakyatannya. Kalau kita bicara dengan bahasa yang paling gampang adalah kebijakan-kebijakan yang pro rakyat atau policy pro wong cilik.
Tetapi saya ingin meluruskan disini, bahwa wong cilik yang dimaksud didalam PDI Perjuangan adalah wong cilik yang pekerja – kelompok-kelompok buruh, petani, nelayan yang bekerja keras, yang karena sistem yang tidak adil membuat mereka tidak dapat menerima reward (upah/pendapatan) dari keringat mereka secara layak.
Jadi fokus kita adalah bagaimana membuat policy-policy (kebijakan-kebijakan) publik yang menghargai dan memberikan reward (upah/pendapat) yang pantas bagi pekerja-pekerja di kelas bawah ini.
.
Bagaimana konkretnya program yang akan dijalankan oleh Megawati jika beliau terpilih menjadi presiden?
Nah, yang paling penting kita sedang mencoba mengimplementasikannya adalah pemberian asuransi untuk semua anggota PDI Perjuangan mulai dari atas sampai ranting secara keseluruhan melalui kebijakan KTA (kartu tanda anggota).
Nah, KTA ini yang kemudian nanti berfungsi sebagai kartu yang bisa untuk dipakai akses untuk menerima asuransi, baik kesehatan, kecelakaan maupun kita upayakan ke pendidikan.
Jadi kita cobakan di internal PDI Perjuangan sendiri bekerjasama dengan asuransi yang paling murah. Nah, kalau ini kemudian bisa dibuktikan oleh PDI Perjuangan, maka ini harusnya diformulasi ditingkat nasional.
Karena ini memang proteksi untuk kelompok-kelompok lemah. Dan asuransi ini yang sedang kita matangkan, kita finalkan dan kalau sudah punya bukti, maka kita akan lebih gampang untuk mengadvokasi untuk policy ditingkat nasional. Tapi yang paling penting, Mega dan PDI Perjuangan itu kan pada keputusan Rakornas yang terakhir adalah menjaga martabat bangsa.
Dan ini yang paling menjadi kebutuhan pada saat ini, dimana para pimpinan di tingkat nasional lebih tunduk kepada dikte-dikte internasional daripada kepentingan dalam negeri. Dan ini melanjutkan politik berdikari yang sudah dimulai oleh Megawati pada masa 3 tahun pemerintahannya.
Kemandirian ini tidak hanya kemandirian politik, tapi juga harus dilanjutkan dengan kemandirian dibidang ekonomi terutama dibidang financial (keuangan) dan Megawati adalah presiden pertama yang bisa membayar hutang dan bahkan menghentikan pada saat itu untuk tidak menambah hutang baru. Ini merupakan indikasi, bahwa prinsip kemandirian dibidang ekonomi sudah dibuktikan, sudah dimulai oleh Megawati.
Bukan hanya itu, tapi juga kemandirian dibidang energi, sesuatu yang menjadi wilayah yang sangat sensitif, wilayah yang menjadi perang didalam geopolitik internasional, terutama ketika Megawati dengan kukuh membela kepentingan Pertamina. Megawati justru kemudian tidak memberikan kepada pihak-pihak asing untuk mengeksplorasi, agar bisa memperkuat industri didalam negeri.dan seterusnya.
Juga kedaulatan dibidang pangan ini juga hendak kita wujudkan, kita komplitkan, kita kongkretisasi untuk mendorong pertanian dalam negeri agar mampu berswasembada dan kemudian mampu untuk memenuhi kebutuhan sendiri.
Sekaitan dengan modal asing, apa bedanya politik terhadap modal asing yang akan dijalankan Mega dibanding dengan yang dijalankan oleh pemerintah yang sekarang ini? Kebijakan kita memang bukan kebijakan yang menutup diri terhadap perekonomian internasional. Tapi bukan berarti kemudian menyerahkan diri kita kepada dikte-dikte internasional dibidang ekonomi. Dibidang permodalan, sudah ditunjukkan dengan policy fraksi PDI Perjuangan, bagaimana fraksi tidak menyetujui dari UU Permodalan yang terbaru, misalkan, isu tentang sewa: sewa yang 95 tahun, kemudian permodalan share nya 100% asing diperbolehkan dan seterusnya.
PDIP menentang hal itu. Kalau PDI Perjuangan berkuasa, maka ini akan ditata ulang, sehingga permodalan lebih proporsional dan lebih adil bagi kepentingan nasional.
.
Tampaknya masalah pertanian Indonesia sekarang ini perlu kebijakan yang tepat, agar kehidupan para petani membaik. Bagaimana menurut anda?
Sebetulnya untuk pertanian, sejak awal kita memang tahu bahwa pertanian itu tempat dimana lebih 66% penduduk masyarakat menggantungkan hidup disana.
Bukan hanya pertanian, untuk para nelayan Mega juga sudah melaksanakan kebijakan konkret, misalkan, dengan membuat pompa-pompa solar sepanjang pantura (pantai utara) pulau Jawa. Sehingga menjamin penopangan upaya nelayan untuk mendapat pasokan energi.
Untuk pertanian, PDIP sudah menemukan salah seorang kader yang dengan kecerdasannya mampu menemukan benih bibit unggul untuk pertanian padi. Dan departemen tani nelayan sedang membuat proyek dimana nanti pada akhirnya kita buktikan kepada masyarakat, bibit yang ditemukan oleh kader PDIP itu justru yang lebih unggul, lebih berkualitas, lebih mampu bersaing dan bisa mengatasi hama-hama yang ada.
Nah, proyek ini akan dibuktikan oleh PDI Perjuangan, dan kita menargetkan 1 juta hektar tanah ditanami dengan bibit unggul tersebut. Proyek yang pertama dilaksanakan di Jawa Tengah, dan sudah mampu menunjukkan hasil, dimana untuk bibit padi delapan kali dari hasil yang normal.
Nah, ini PDI Perjuangan bukan hanya berslogan, bukan hanya berpropaganda, tetapi sudah merintis proyek-proyek yang nantinya akan mendukung apa yang kita mau tuju sebagai kedaulatan pangan melalui petani. Itulah arah ke sana yang sedang kita rintis, dan partai langsung turun tangan ke sana. Jadi rekapitalisasi pertanian dimulai dari memperkuat kelompok petani itu sendiri dan mengurangi kebijakan-kebijakan yang membuat petani tidak berdaya, termasuk pada masalah distribusi pupuk. Bukan hanya pupuk yang anorganik yang kita kelola, tetapi juga kita mencoba memperkuat upaya-upaya tanaman-tanaman bibit-bibit pertanian yang tidak membutuhkan pupuk anorganik.
.
Bagaimana konkretnya, kebijakan ekonomi apa yang ingin dijalankan oleh PDIP dalam perjuangannya untuk kepentingan “wong cilik”?
Ini kan sebetulnya isunya tentang politik kebijakan ekonomi. Nah, politik kebijakan ekonomi kan ditentukan oleh para pimpinan. Ketika politik kebijakan ekonomi kita adalah dengan menaruh leher kita kepada kepentingan internasional, maka konsekuensinya sekarang ini, dimana kita kalau memakai istilahnya Bung Karno, kita sekarang ini sudah menjadi bangsa kuli dan kulinya bangsa-bangsa. Dan itu makin terwujud, kalau kita kaitakan dengan isu TKW kita.
Bagaimana kita menjadi bangsa yang terhina, bangsa yang dipinggirkan bahkan oleh tetangga kita. Dimana tetangga kita sudah sangat tidak menghormati, bahkan beberapa batas wilayah diperluas oleh mereka sendiri, sedangkan para pemimpin Indonesia sekarang ini marah nggak, tersinggung nggak.
Kan lucu. Berita terakhir, isteri diplomat Indonesai itu ditangkap oleh pasukan RELA di Malaysia, setelah satu bulan yang lalu wasit nasional Indonesia juga diperlakukan yang sama, yang sangat merendahkan Indonesia.
Tetapi karena pimpinannya (Indonesia – Red.) sekarang tidak tegas, makanya PDI Perjuangan kemudian pada Rakornasnya yang terakhir bilang: “Martabat bangsa harus diselamatkan”. Caranya bagaimana? Kemandirian , kedaulatan itu harus menjadi kata kunci menjadi roh didalam politik nasional kita, baik politik luar negeri, politik kebijakan ekonomi, dan juga politik kebijakan nasional yang lainnya.
.
Bagaimana pendidikan tentang apa yang sering didengungkan oleh para founding fathers kita tentang “nation and character building” sekarang ini ?
Itu yang salah satu yang dicemaskan oleh PDI Perjuangan, dimana pendidikan nasional sudah mengikuti logika pasar, sehingga bukan lagi menjadi bagian dari proyek “nation and character buliding”, dimana disitu tidak ada pendidikan-pendidikan untuk kebangsaan tetapi lebih kepada pendidikan-pendidikan yang teknis, yang tidak membangkitkan rasa nasionalisme.
Bahkan yang lebih menyedihkan justru pendidikan dipakai juga alat untuk mendelegitimasi Pancasila. Misalkan di beberapa pendidikan ekstra kurikuler justru dipakai untuk menginplant (menanamkan) kepercayaan-kepercayaan ataupun ideologi yang tidak sesuai dengan Pancasila.
Misalkan, tentang syariat Islam yang kemudian itu diinstitusionalisasikan melalui kebijakan-kebijakan daerah, melalui perda-perda Islam, yang sangat diskriminatif terhadap perempuan.
Dan ini kan tidak sesuai dengan prinsip equility before the law (semua orang sama di depan hukum) yang sudah kita junjung dan terutama sila kedua kemanusiaan yang adil dan beradab, karena tiba-tiba ada manusia yang lebih tinggi dan ada manusia yang lebih rendah berbasis pada seksual, sekarang dilanjutkan berbasis pada agama. Ini kan sesuatu yang tidak Pancasilais dan ternyata pendelegitimasian Pancasila justru yang paling efektif dilaksanakan melalui pendidikan. Baik pendidikan formal maupun pendidikan nonformal.
Jadi tawaran kita berikutnya adalah bagaimana melanjutkan dan menjamin agar proyek “nation and character building” ini berlanjut pada pemerintahan Megawati yang akan datang, kalau menang. *****

Lee Kuan Yew Temui Ketua Umum PDI Perjuangan: Megawati Dimintai Kawal Pancasila

Tuesday, 14 August 2007 :
Jakarta, Suluh Perjuangan
.

Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri saat menerima kunjungan mantan Perdana Menteri Singapura Lee Kwan Yew di kediaman Jl. Teuku Umar 26-27.
Dalam kesempatan tersebut Lee mengatakan bahwa Pancasila merupakan dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia yang paling tepat. Dan sebagai pemimpin salah satu partai politik besar, Megawati merupakan pemimpin yang tepat untuk mengawal Pancasila. [Foto: Media Indonesia]
.
Dalam kunjungannya selama beberapa hari di Indonesia, mantan Perdana Menteri Singapura, Lee Kuan Yew, secara khusus menemui Ketua Umum PDI Perjuangan, Hj Megawati Soekarnoputri, di kediamannya Jalan Teuku Umar, Jakarta Pusat pekan lalu (26/7).
Pertemuan yang semula dijadwalkan hanya 10 menit itu, akhirnya memakan waktu hampir satu jam. "Kalau saya dan beliau bertemu, kami ingin selalu berbicara segala hal," jelas Megawati tentang pertemuan itu. "Beliau menanyakan bagaimana situasi di Indonesia dari prospek pandangan saya dan saya juga mencoba menerangkannya dengan baik, dan beliau memberikan pandangan-pandangannya mengenai kondisi di sini," papar Megawati setelah mengantarkan Lee.Tetapi HM Taufiq Kiemas, yang menemani Ketua Umum PDI Perjuangan itu mengungkapkan materi pembicaraan mereka. "Beliau sangat senang sekali bicara soal pluralisme di Indonesia dan Pancasila yang bisa untuk menghadapi gerakan-gerakan radikal dari luar yang bisa masuk ke Indonesia," kata Ketua Deperpu PDI Perjuangan itu.
.
Dalam pertemuan selama sekitar satu jam itu Lee mengharapkan Ketua Umum PDI Perjuangan itu terus menegakkan Pancasila sebagai dasar negara Indonesia. Megawati mengatakan, memang sudah dengan sendirinya dia dan partainya beserta seluruh rakyat Indonesia mempertahankan Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila. Dalam hal ini Taufiq Kiemas menambahkan, untuk menjaga pluralisme di Indonesia, kalau hanya dilakukan PDI Perjuangan tidak mungkin, jadi perlu dilakukan bersama partai-partai lain serta Tentara Nasional Indonesia."Saya sependapat jika Indonesia dikatakan banyak partai," kata Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri saat diminta komentarnya mengenai statemen mantan PM Singapura Lee Kuan Yew bahwa Indonesia punya banyak sekali partai.
Menurut Megawati, banyak partai memang merupakan cerminan demokrasi. Namun bukan berarti tanpa rambu-rambu. Sebab kalau tidak, bisa-bisa repot. "Harus ada aturan yang lebih tegas, siapa yang boleh ikut lagi dalam pemilu. Karena kalau tidak, maka akan lebih banyak partai dan repot," kata Megawati. "Yang harus kita lakukan adalah kematangan berpikir dan pendewasaan demokrasi," lanjutnya.
.
Masalah perjanjian kerja sama pertahanan antar dua negara (DCA) juga menjadi salah satu pembicaraan, tapi menurut Megawati, Lee menolak untuk berkomentar. "Beliau orang yang sangat tahu aturan. Jadi kalau masalah yang sekarang sedang menjadi pembicaraan, terutama di DPR, masalah pertahanan dan masalah ekstradisi itu, itu adalah masalah internal Indonesia," kata Megawati. Lebih jauh, Megawati mengemukakan bahwa masalah DCA dan ekstradisi harusnya menjadi masalah internal bangsa Indonesia, tidak seharusnya menjadi tugas Lee. "Mengenai masalah perjanjian yang sekarang dibahas, menurut saya dan saya juga mengatakan kepada beliau itu adalah masalah kami. Kami yang harusnya yang membereskan terlebih dahulu, bukannya beliau yang datang ke sini untuk mengurusi rumah tangga kita," kata Megawati.
.
Dasar Negara yang Tepat
Peneliti LIPI, Asviwarman Adam, mengemukakan, harapan mantan Perdana Menteri Singapura, Lee Kuan Yew, agar Ketua Umum PDI Perjuangan Hj Megawati Soekarnoputri mengawal Pancasila, tentu dilatarbelakangi oleh keyakinan Lee bahwa Pancasila merupakan dasar negara yang tepat bagi bangsa Indonesia. Saat ini, jelas Asvimarwan Adam, kita memang menghadapi tantangan globalisasi seperti rembesan gerakan radikal dari luar negeri, serta upaya pihak-pihak tertentu di dalam negeri untuk kembali ke Piagam Jakarta. Karena itu Lee menilai Megawati, yang merupakan pimpinan salah satu partai nasionalis terbesar di indonesia, tepat untuk mengawal Pancasila.

DPC PDI Perjuangan: Bantu Petani Pematangsiantar

Thursday, 01 March 2007

KETUA DPC PDI Perjuangan Kota Pematangsiantar, Lingga Napitupulu, baru-baru ini menyerahkan bantuan bibit padi jenis Ciherang sebanyak 1 ton kepada warga tani di Kelurahan Sukaraja, Kecamatan Siantar Marihat, Pematangsiantar.
Pada acara penyerahan bibit itu ikut mendampingi Lingga Napitupulu, yang juga Ketua DPRD Kota Pematangsiantar, para fungsionaris PAC (Pengurus Anak Cabang) PDI Perjuangan Kecamatan Siantar Marihat, seperti Ir Vivanto Gultom dan Ir Donald Napitupulu.
Warga tani Kelurahan Sukaraja tampak sangat antusias melihat para pengurus memberikan bantuan, sekaligus melakukan kontak komunikasi untuk saling bertukar informasi soal kehidupan petani. Lurah Sukaraja, Nurita Hutajulu, pada kesempatan tersebut mengatakan rasa salut dan bangganya atas kepedulian PDI Perjuangan terhadap nasib para petani. Menurut Nurita, bantuan yang diserahkan secara langsung oleh Ketua DPRD itu patut disyukuri warga tani dan diharapkan bantuan tersebut dapat dimanfaatkan guna meningkatkan produktifitas pertanian secara kualitas dan kuantitas.
.
Mewakili partai, Vivanto yang juga Ketua PAC PDI Perjuangan Kecamatan Siantar Marihat periode 2005-2010, menyatakan bahwa penyerahan bantuan merupakan sebuah bukti nyata jika PDI Perjuangan lebih konsentrasi memperhatikan nasib wong cilik ketimbang hanya mengurusi isu-isu politik yang tidak kait mengkait dengan kepentingan rakyat secara langsung. Vivanto juga mengharapkan agar warga Kelurahan Sukaraja untuk selalu menyampaikan segala persoalan yang mereka hadapi kepada PAC PDI Perjuangan Kecamatan Siantar Marihat. "Sepanjang kepentingan rakyat, seperti pengurusan KTP atau Kartu Keluarga, kita siap memfasilitasi," ujarnya yakin.

Sementara itu T Rajaguk-guk, salah seorang warga tani yang menerima bantuan menyampaikan rasa terima kasih kepada PDI Perjuangan yang sudah memperhatikan apa yang menjadi kebutuhan petani saat ini. Diakuinya, petani saat ini menghadapi masa tanam. Karena itu kehadiran bibit unggul bantuan PDI Perjuangan membuat warga sangat terbantu. "Mudahan-mudahan, bantuan ini bisa berhasil guna dan tepat guna. Kelak jika panen, kami warga tani akan tetap mengingat bagaimana PDI Perjuangan selalu memperhatikan kesejahteraan petani," katanya senang.
.
Acara tersebut juga dihadiri Imran Simanjuntak (Wakil Ketua DPC Bidang Infokom), Gredo Tersena Tarigan (Bidang Hukum, HAM dan Advokasi), Henri PK Manurung (Bidang Pemuda, Pelajar, Mahasiswa dan Olahraga), serta sejumlah kader dan simpatisan partai.

Sabtu, 24 November 2007

Tak Ada Jalan Pintas

Monday, 26 February 2007 :

Perjuangan saya belum berhenti.Walaupun kereta reot ini sarat dengan kaleng rombeng di belakangnya, akan tetap berjalan seiring dalam perjalanan.
Perjuangan saya adalah cita-cita semua, rakyat Indonesia, karena saya adalah bagian daripada rakyat.
.
Tujuan perjuangan kita adalah amanat leluhur pendiri Republik tercinta ini, KEADILAN DAN KEMAKMURAN SELURUH RAKYAT INDONESIA DALAM KEUTUHAN NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA.

Yang harus dicapai sekalipun melewati jalan panjang berkerikil dan penuh dengan pengorbanan.
Kita harus bangkit, kuat dan bersatu menepis semua bentuk disintegrasi yang akan merambah masuk ke lubuk hati.
Kita harus jadikan negeri ini kokoh dan mandiri di tengah-tengah bangsa lain yang juga berpacu ke arah yang sama.
Semoga buku yang berisikan tentang apa yang sudah saya kerjakan dan apa yang akan saya lakukan dapat dijadikan bahan informasi untuk koreksi apa yang belum saya laksanakan, sehingga kita dapat menyatukan gerak dan langkah dalam perjuangan meraih cita-cita.
.
Megawati Soekarnoputri.

Sejarah PDIP

Bahwa PDI Perjuangan merupakan partai politik yang sebenarnya adalah partai yang secara langsung memiliki tali kesejarahan dengan partai politik masa orde lama. PDI Perjuangan sebenarnya kelanjutan dari Partai Demokrasi Indonesia yang berdiri pada tanggal 10 Januari 1973. Partai Demokrasi Indonesia itu lahir dari hasil fusi 5 (lima) partai politik.
.
Kelima partai politik tersebut yaitu :

1. Partai Nasional Indonesia (PNI)
PNI didirikan Bung Karno tanggal 4 Juli 1927 di Bandung. Dengan mengusung nilai-nilai dan semangat nasionalisme, PNI kemudian berkembang pesat dalam waktu singkat. Karena dianggap berbahaya oleh penguasa kolonial, tanggal 29 Desember 1929 semua kantor dan rumah pimpinan PNI digeledah. Bung Karno, Maskun, Supriadinata dan Gatot Mangkupraja ditangkap. Berdasarkan keputusan yang ditetapkan Raad van Justitie tanggal 17 April 1931, mereka dipidana penjara. Keputusan ini diartikan mencap PNI sebagai suatu organisasi yang terlarang.
Setelah tanggal 3 November 1945 keluar Maklumat Pemerintah tentang pembentukan Partai Politik. Dengan landasan tersebut, tanggal 29 Januari 1946 di Kediri PNI dibentuk oleh partai-partai yang tergabung dalam Serikat Rakyat Indonesia atau di kenal dengan Serrindo pada waktu itu, PNI Pati, PNI Madiun, PNI Palembang, PNI Sulawesi, kemudian Partai Republik Indonesia Madiun, Partai Kedaulatan Rakyat Yogya, dan ada beberapa lagi partai kecil lainnya yang berada di Kediri. Fusi ini terjadi ketika ada Konggres Serrindo yang pertama di Kediri.
Dalam Kongres tersebut PNI dinyatakan memiliki ciri Sosio-Nasionalisne-Demokrasi yang merupakan asas dan cara perjuangan yang dicetuskan Bung Karno untuk menghilangkan kapitalisme, imperialisme dan kolonialisme. Pengunaan asas ini diasosiasikan sebagai "kebangkitan kembali PNI 1927" yang pernah didirikan Bung Karno.
Ideologi partai ini menggunakan apa yang dikembangkan oleh Bung Karno yaitu Marhaenisme, sebuah istilah yang di bangun atau dipakai oleh beliau ketika beliau melakukan kunjungan ke salah satu daerah di Jawa Barat dan bertemu dengan seorang petani yang namanya Marhaen.
PNI merupakan partai pemenang pemilu nomor satu dalam pemilu tahun 1955 dengan komposisi suara kurang lebih 22,3%.
Basis sosial dari partai ini pertama-tama adalah masyarakat abangan di Jawa. Kekuatan mobilisasi terletak pada penguasaan atas birokrasi dan yang kedua adalah para pamong praja, lurah dan para kepala desa. Ini menjelaskan kenapa Golkar mengambil alih itu, PNI ambruk secara total. Ketika dukungan cukup merata menyebar di seluruh Indonesia, ketika di beberapa propinsi yang sangat terbatas seperti di Aceh, Sumatra Barat, dimana pendukung PNI itu jumlahnya kurang dari 0,7%.
Di kawasan Jawa di bagian sebelah utara Bandung PNI tidak pernah mendapatkan basis dukungan yang kuat. Itu merupakan daerah Islam atau daerah Masyumi.
Di Bandung daerah selatan itu merupakan kantong utama. Jawa Tengah adalah kantong-kantong utama, dan kontestan yang paling serius itu datang dari Partai Komunis Indonesia yang berada di beberapa daerah segitiga seperti Jelanggur dan seterusnya. Blitar bagian selatan dan sebagainya.
.
2. Partai Kristen Indonesia (Parkindo)
Parkindo adalah partai yang didirikan karena ada maklumat pada waktu itu, ia baru berdiri tahun 1945 tepatnya pada tanggal 18 November 1945 yang diketuai Ds Probowinoto.
Parkindo merupakan penggabungan dari partai-partai Kristen lokal seperti PARKI (Partai Kristen Indonesia) di Sumut, PKN (Partai Kristen Nasional) di Jakarta dan PPM (Partai Politik Masehi) di Pematang Siantar.
.
3. Partai Katolik
Partai Katolik lahir kembali pada tanggal 12 Desember 1945 dengan nama PKRI (Partai Katolik Republik Indonesia) merupakan kelanjutan dari atau sempalan dari Katolik Jawi, yang dulunya bergabung dengan partai Katolik. Sebenarnya partai ini pada tahun 1917-an itu sudah ada. Partai ini berdiri pada tahun 1923 di Yogyakarta yang didirikan oleh umat Katolik Jawa yang diketuai oleh F.S. Harijadi kemudian diganti oleh I.J. Kasimo dengan nama Pakepalan Politik Katolik Djawi (PPKD).
Pada Pemilu 1971 Partai Katolik meraih 606.740 suara (1,11%) sehingga di DPR mendapat 3 kursi.
.
4. Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI)
IPKI atau Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia adalah partai yang didirikan terutama oleh tentara. IPKI sejak lahirnya mencanangkan Pancasila, semangat proklamasi dan UUD 1945 sebagai cirnya. Tokoh dibalik pendirian IPKI adalah AH. Nasution, Kol Gatot Subroto dan Kol Azis Saleh. Kelahirannya didasari oleh UU No. 7 tahun 1953 tentang Pemilu 1955.
Dalam pemilu itu anggota ABRI aktif dapat dipilih melalui pemilu dan duduk di Konstituante. IPKI didirikan pada tanggal 20 Mei 1954 kurang lebih satu tahun sebelum pemilu tahun 1955 yang berlangsung bulan September. Waktu itu, Jenderal Besar Nasution yang berpangkat kolonel, terlibat pada peristiwa yang sangat terkenal yaitu peristiwa 27 Oktober.
Peristiwa 27 Oktober ini adalah sebuah peristiwa dimana tentara melakukan upaya untuk memaksa Bung Karno membubarkan parlemen. Mereka datang ke istana, gerombolan tentara yang sangat banyak dengan tank, meriam diarahkan ke depan istana, dan meminta kepada Bung Karno untuk membubarkan parlemen, karena parlemen dianggap telah mengintervensi persoalan internal tentara.
Nasution dipanggil, usianya baru 33 tahun dan disuruh kembali untuk memikirkan tindakannya, di copot jabatannya, antara Oktober 1952 sampai nantinya dia dikembalikan pada jabatannya pada tahun 1955.
Selama tiga tahunan itu Nasution berfikir sangat serius. Bung Karno tidak bisa dilawan.
Diantara tahun-tahun inilah Nasution kemudian mendirikan IPKI.
Dalam pertemuan sangat tertutup antara wakil IPKI dengan Soeharto pada tahun 1971. Dua tokoh IPKI yang besar atau salah satu tokoh IPKI yang besar, mantan Bupati Madiun, Achmad Sukarmadidjaja almarhum, mengatakan bahwa IPKI tidak mungkin hidup di dalam gerombolan partai-partai yang punya ideologi aneh-aneh dan ingin bergabung dengan golongan karya atau menjadi partai sendiri.
Kedekatan dengan Golkar, menjelang Deklarasi PDI 1973 IPKI pernah berpikir untuk bergabung ke Golkar. Tanggal 12 Maret 1970 Presiden Soeharto memberi jawaban atas permintaan Achmad Sukarmadidjaja bahwa IPKI bisa bergabung ke Golkar dengan syarat harus membubarkan diri lebih dahulu.
IPKI cukup spesifik dan memiliki dukungan yang konkrit menurut pemilu 1955 kecuali sedikit di Jawa Barat, demikian juga dengan Murba. Hanya memiliki dukungan yang sangat sedikit di Jawa Barat kurang lebih 290.000-an orang.
Pada Pemilu 1971 IPKI hanya mampu memperoleh 388.403 (0,62 %) sehingga tidak mendapat satupun kursi di DPR.
.
5. Murba
Murba didirikan pada tanggal 7 November 1948 setelah Tan Malaka keluar dari penjara. Murba adalah gabungan Partai Rakyat, Partai Rakyat Jelata dan Partai Indonesia Buruh Merdeka.Menurut data Kementrian Penerangan RI tentang "Kepartaian di Indonesia" seri Pepora No. 8, Jakarta, 1981, istilah Murba mengacu pada pengertian "golongan rakyat yang terbesar yang tidak mempunyai apa-apa, kecuali otak dan tenaga sendiri".
Asas partai ini antifasisme, anti imperialisme-kapitalisme dengan tujuan akhirnya mewujudkan masyarakat sosialisme.Meski program Murba membela rakyat kecil dan kaum tertindas, dukungan riil rakyat terhadap Murba kurang begitu kuat. Terbukti dalam Pemilu 1971 partai ini tidak memperoleh satu pun kursi di DPR karena hanya mampu meraih 48.126 suara (0,09 %).
.
Proses fusi terjadi sebenarnya hanya untuk menjamin kemenangan kekuatan Orde Baru. Pada saat itu penguasa Orde Baru mengaktifkan Sekretariat Bersama (Sekber) Golongan Karya (Golkar) yang proses pembentukannya didukung oleh militer. Tap MPRS No.XXII/MPRS/1966 tentang Kepartaian, Keormasan, dan Kekaryaan disebutkan agar Pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat Gotong royong (DPR-GR) segera membuat Undang-Undang untuk mengatur kepartaian, keormasan dan kekaryaan yang menuju pada penyederhanaan. Gagasan agar supaya fusi untuk pertama kali tahun 1970.
.
Tepatnya 7 Januari tahun 1970. Soeharto memanggil 9 partai politik untuk melakukan konsultasi kolektif dengan para pimpinan 9 partai politik tersebut. Dalam pertemuan konsultasi tersebut, Soeharto melontarkan gagasan pengelompokan partai politik dengan maksud untuk menghasilkan sebuah masyarakat yang lebih tentram lebih damai bebas dari konflik agar pembangunan ekonomi bisa di jalankan. Partai politik dikelompokan ke dalam dua kelompok, kelompok pertama disebut kelompok materiil spirituil yang menekankan pada aspek materiil dan kedua adalah spirituil materiil yang menekankan pada aspek spiritual.
.
Kelompok materiil spirituil menjadi Partai Demokrasi Indonesia dan kelompok spirituil materiil itu kemudian menjadi Partai Persatuan pembangunan. Setelah diskusi-diskusi seperti itu tokoh-tokoh partai coba mulai bertemu dan mulai mendiskusikan gagasan ini. Pertemuan kemudian berlanjut pada tanggal 27 Februari 1970 Soeharto mengundang lima partai politik yang dikategorikan kelompok pertama yaitu PNI (Partai Nasiona Indonesia), Parkindo (Partai Kristen Indonesia), Partai Katolik, IPKI (Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia) dan Murba. Ide pengelompokan yang dilontarkan Soeharto menjadi perhatian masyarakat umum dan ditengah-tengah proses pengelompokan tersebut berkembang rumor yang sangat kuat isu pembubaran partai-partai politik jika tidak dicapai kesepakatan untuk mengadakan pengelompokan sampai batas waktu 11 Maret 1971.
Karena partai sangat lamban, mulai muncul gerakan di sejumlah daerah yang paling terkenal adalah di Jawa Barat. Panglima daerah di Jawa Barat pada waktu adalah Jenderal Darsono melakukan buldoser secara besar-besar ke partai di Jawa Barat. Muncul gagasan tentang dwi partai.
Partai yang cuma dua di Indonesia. Dan korban paling utama pada waktu itu adalah Partai Nasional Indonesia. Pada tanggal 7 Maret 1970 bertempat di ruang kerja Wakil Ketua MPRS, M Siregar di Jalan Teuku Umar No. 5 Jakarta, lima tokoh Partai yang hadir yaitu Hardi dan Gde Djakse (PNI), Achmad Sukarmadidjaja (IPKI), Maruto Nitimihardjo dan Sukarni (Murba), VB Da Costa, Lo Ginting dan Harry Tjan (Partai Katolik) serta M Siregar dan Sabam Sirait (Parkindo), mengadakan pertemuan dan pembicaraan mengenai pengelompokan partai. Dalam pertemuan tersebut, muncul kekhawatiran terjadinya polarisasi antara kelompok Islam dan non-Islam, oleh karenanya muncul gagasan sebagai alternatif untuk mengelompokan partai menjadi lima atau empat kelompok yang terdiri dari dua kelompok muslim, satu nasionalis, satu kristen dan satu kelompok karya.
.
Namun pemerintah Orde Baru saat itu tetap menginginkan pengelompokan sesuai yang diajukan sebelumnya hingga akhirnya gagasan yang diusulkan oleh tokoh-tokoh tersebut tidak pernah terwujud.
Pada tanggal 9 Maret 1970 pertemuan pimpinan lima partai tersebut berlanjut ditempat yang sama dengan agenda pokok yaitu penyelesaian deklarasi atau pernyataan bersama dan pokok-pokok pikiran selanjutnya. Dalam pertemuan ini berhasil membentuk tim perumus yang terdiri dari Mh. Isnaeni, M Supangat, Murbantoko, Lo Ginting dan Sabam Sirait.
Tim perumus menghasilkan "Pernyataan Bersama" yang ditanda tangani oleh ketua partai masing-masing, yakni Hardi (PNI), M Siregar (Parkindo), VB Da Costa (Partai Katolik), achmad sukarmadidjaja (IPKI) dan Sukarni (Murba).
Pada tanggal 12 Maret 1970 kembali dilakukan pertemuan dengan Presiden Soeharto yang didampingi oleh Brigjen Sudjono Humardani dan Brigjen Sudharmono.
Dari pihak partai politik hadir Hardi dan Gde Djakse (PNI), Achmad Sukarmadidjaja dan M Supangat (IPKI), Maruto Nitimihardjo (Murba), VB Da Costa dan Lo Ginting (Partai Katolik) serta M Siregar dan Sabam Sirait (Parkindo).Pada tanggal 24 Maret 1970 para pemimpin parpol tersebut kembali melakukan pertemuan di ruang kerja Wakil Ketua MPRS, M Siregar.
Maksud pertemuan tersebut adalah untuk memperjelas keberadaan kelompok yang telah dibentuk, baik nama, sifat, pengorganisasian dan program. Hasil pertemuan tersebut akhirnya disepakati nama "Kelompok Demokrasi Pembangunan" dan dikukuhkan melalui SK No. 42/KD/1972, tanggal 24 Oktober 1972. Meskipun sebelumnya banyak muncul usulan-usulan nama yang diajukan oleh masing-masing partai, antara lain oleh Lo Ginting (Partai Katolik) yang mengusulkan nama "Kelompok Demokrasi Kesejahteraan" atau "Kelompok Kesejahteraan Kerakyatan". Maruto Nitimihardjo (Murba) mengusulkan nama "Kelompok Gotong-Royong", karena kata "gotong royong" dianggap merupakan perasaan pancasila dan dapat menghindari polarisasi. Usep Ranawidjaja (PNI) keberatan karena bisa ditafsirkan dan dikaitkan dengan Orde Lama. M Supangat (IPKI) mengusulkan dibentuk "Badan Kerjasama" sebagai sifat pengelompokan yang dinamakan "Kelompok Pembangunan". Sabam Sirait (Parkindo) mengusulkan nama "Kelompok Demokrasi dan Pembangunan" atau "Kelompok Sosial Demokrat".
.
Setelah melalui proses yang panjang akhirnya pada tanggal 10 Januari 1973 tepat jam 24.00 dalam pertemuan Majelis Permusyawaratan Kelompok Pusat (MPKP) yang mengadakan pembicaraan sejak jam 20.30 di Kantor Sekretariat PNI di Jalan Salemba Raya 73 Jakarta, Kelompok Demokrasi dan Pembangunan melaksanakan fusi 5 Partai Politik menjadi satu wadah Partai yang bernama Partai Demokrasi Indonesia meskipun pada awal fusi sebenarnya muncul 3 (tiga) kemungkinan nama untuk fusi menjadi :
1. Partai Demokrasi Pancasila
2. Partai Demokrasi Pembangunan
3. Partai Demokrasi Indonesia
.
Deklarasi ditandatangani oleh wakil kelima partai yaitu MH. Isnaeni dan Abdul Madjid mewakili Partai Nasional Indonesia, A. Wenas dan Sabam Sirait Mewakili Partai Kristen Indonesia, Beng Mang Rey Say dan FX. Wignyosumarsono mewakili Partai Katolik, S. Murbantoko R. J. Pakan mewakili Partai Murba dan Achmad Sukarmadidjaja dan Drs. Mh. Sadri mewakili Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI). Dengan dideklarasikannya fusi kelima partai tersebut, maka lahirlah Partai Demokrasi Indonesia.
Setelah deklarasi fusi tersebut, selanjutnya untuk memenuhi poin 3 Deklarasi fusi, dibentuk tim penyusun Piagam Perjuangan, AD/ART, struktur organisasi dan prosedur yang diperlukan melaksanakan fusi tersebut.
Tim yang dikenal sebagai Tim 10 itu semula diketuai Sunawar Sukowati (PNI) tapi kemudian diganti Sudjarwo (PNI) karena penugasan Sunawar sebagai duta besar.
.
Pada tanggal 13 Januari 1973 Majelis Pimpinan Partai (MPP) terbentuk, Sabtu 14 Januari 1973 jam 01.20 pagi Partai Demokrasi Indonesia (PDI) berhasil menyusun struktur dan personalia Dewan Pimpinan Pusat sampai terselenggaranya Kongres Nasional. Susunan kepengurusan DPP PDI sebagai berikut :
I. MAJELIS PIMPINAN PUSAT (beranggotakan 25 orang) :
II. DEWAN PIMPINAN PUSAT (beranggotakan 11 orang)
.
DPP PDI bersama Tim 10 pada tanggal 8-10 Juni 1973 di Cibogo Bogor berhasil menyelesaikan AD/ART PDI dan telah disahkan dalam rapat DPP PDI tanggal 26 Juli 1973 serta dikukuhkan dalam rapat MPP PDI di kediaman hasyim Ning pada tanggal 4 Agustus 1973.
Sementara Piagam dan Program Perjuangan Partai dikukuhkan dalam rapat MPP PDI tanggal 19-20 September 1973.
Untuk memenuhi poin 4 Deklarasi Fusi, kelima partai yakni PNI, Parkindo, Partai Katolik, IPKI, Murba mengadakan forum internal masing-masing partai. PNI menyelenggarakan Munas tanggal 27-28 Januari 1973 di Jakarta yang memutuskan bahwa masalah fusi dengan partai-partai lain tidak dipersoalkan dan menyetujui kebijakan DPP PNI dalam menghadapi fusi. Parkindo mengadakan Sidang Dewan Partai VII yang diperluas pada tanggal 8-10 Juli 1973 di Sukabumi hasilnya menyetujui kebijakan DPP Parkindo berfusi dalam PDI.
Partai Katolik melaksanakan Sidang Dewan Partai yang diperluas pada tanggal 25-27 Februari 1973 di Jakarta dan hasilnya menyetujui kebijakan DPP untuk berfusi.
IPKI melaksanakan Musyawarah Dewan Paripurna Nasional IV di Tugu-Bogor pada tanggal 25-27 mei 1973 dan Murba melaksanakan Sidang Dewan Partai pada tanggal 1-3 Agustus 1973 yang masing-masing menyetujui kebijakan DPP nya untuk berfusi.
.
Terbentuknya DPP diiringi terbentuknya kepengurusan Cabang (kepengurusan tingkat kabupaten) sebanyak 154 Cabang. Tahun 1974 kepengurusan Cabang bertambah 77 Cabang, tahun 1975 bertambah 20 Cabang, tahun 1976 bertambah 6 Cabang.
Musyawarah nasional adalah bentuk pertemuan besar PDI yang pertama pasca fusi. Setelah mendapat restu Presiden Soeharto tanggal 18 Juni 1973 dan Wakil Presiden Sri Sultan Hamengku Buwono IX tanggal 19 Juni 1973, DPP PDI melaksanakan Musyawarah Nasional (Munas).
Dalam praktik, Munas I ini mengambil nama "Konpernas" (Konsultasi dan Penataran Nasional) di Jakarta tanggal 20-24 september 1973. Konpernas dihadiri utusan Dewan Pimpinan Daerah (DPD), MPP, Dewan Pertimbangan Pusat (Deperpu), Anggota Fraksi PDI di DPR, dan tokoh-tokoh Pemerintah seperti mayjen Ali Murtopo, Mayjen Subiyono (Wakil Dephankam), JB sumarlin (Wakil Bappenas), Mayjen Sunandar (Wakil Mendagri), Sulaiman (Wakil Menlu) dan Prof Sunario (Wakil Dewan Harian Angkatan 1945).
.
Kongres I PDI berlangsung dari tanggal 12 - 13 April 1976. Pelaksanaan Kongres I ini sempat tertunda-tunda akibat adanya konflik internal. Di dalam Kongres I ini intervensi pemerintah sangat kuat, pemerintah memplot Sanusi Hardjadinata agar terpilih. Dan hasilnya Sanusi Hardjadinata terpilih secara aklamasi sebagai Ketua Umum DPP PDI.
Susunan DPP hasil Kongres I yang susunan personalianya sudah disempurnakan atas kesepakatan antara Mh Isnaeni dan Sunawar. Kepengurusan tersebut karena adanya konflik diantara pengurus DPP, maka pada tanggal 16 Januari 1978, susunan DPP PDI hasil penyelesaian politik bersama Bakin.Kongres II dilaksanakan pada tahun 1981 di Jakarta, meskipun ada penolakan dari "Kelompok Empat" (Usep, Abdul Madjid, Walandauw dan Zakaria Ra'ib) yang mengajukan keberatan atas penyelenggaraan Kongres II kepada pemerintah.
.
Namun Kongres II PDI tetap berlangsung pada tanggal 13-17 Januari 1981 mengambil tema : "Dengan Menggalang Persatuan dan Kesatuan Dalam Rangka Memantapkan Fusi, Meningkatkan Peranan dan Partisipasi PDI Untuk Mensukseskan Pembangunan".Di dalam Kongres II ini campur tangan pemerintah semakin kuat.
Meskipun ada keberatan terhadap pelaksanaan Kongres tersebut, Kongres II PDI tetap berjalan.
Pemerintah tetap mengizinkan penyelenggaraan Kongres tersebut dan Presiden Soeharto yang membuka acara Kongres II PDI.
Di dalam Kongres II PDI menghasilkan kesepakatan-kesepakatan diantara partai-partai pendukung PDI yang berkonflik. Kongres II PDI akhirnya menyepakati bahwa fusi telah tuntas.
.
Pasca Kongres II PDI konflik internal masih terjadi yaitu perselisihan antara Hardjanto dengan Sunawar. Kelompok hardjanto mendesak diselenggarakannya Kongres Luar Biasa sedangkan Kubu Sunawar hanya menghendaki Munas. Kubu Sunawar menginginkan Kongres III PDI diselenggarakan setelah pemilu 1987, sementara kubu Hardjanto menginginkan sebelum Pemilu.
.
Akhirnya Kongres III PDI diselenggarakan sebelum Pemilu yaitu pada tanggal 15-18 April 1986 di Wisma haji Pondok Gede, Jakarta. Kongres III dapat diselenggarakan karena Sunawar Soekawati meninggal dunia. Di dalam Kongres ini semaki menegaskan kuatnya ketergantungan PDI pada Pemerintah.
Kongres III PDI gagal dan menyerahkan penyusunan pengurus kepada Pemerintah. Pada waktu itu yang berperan adalah Mendagri Soepardjo Rustam, Pangab Jenderal Benny Moerdani dan Menteri Muda Sekretaris Kabinet Moerdiono. Konflik internal terus berlanjut sampai dengan dilaksanakannya Kongres IV PDI di Medan.
.
Kongres IV PDI diselenggarakan tanggal 21-25 Juli 1993 di Aula Hotel Tiara, Medan, Sumatera Utara dengan peserta sekitar 800 orang.
Dalam Kongres tersebut muncul beberapa nama calon Ketua Umum yang akan bersaing dengan Soerjadi, yakni Aberson Marle Sihaloho, Budi Hardjono, Soetardjo Soerjogoeritno dan Tarto Sudiro, kemudian muncul nama Ismunandar yang merupakan Wakil Ketua DPD DKI Jakarta. Budi Hardjono saat itu disebut-sebut sebagai kandidat kuat yang didukung Pemerintah.
Tarto Sudiro maju sebagai calon Ketua Umum didukung penuh oleh Megawati Soekarnoputri. Saat itu posisi Megawati belum bisa tampil mengingat situasi dan kondisi politik masih belum memungkinkan.
Kongres IV PDI di Medan dibuka oleh Presiden Soeharto dan acara tersebut berjalan lancar. Namun beberapa jam kemudian acara Kongres menjadi ricuh karena datang para demonstran yang dipimpin oleh Jacob Nuwa Wea mencoba menerobos masuk ke arena sidang Kongres namun dihadang satuan Brimob. Acara tetap berlangsung sampai terpilihnya kembali Soerjadi secara aklamasi sebagai Ketua Umum, namun belum sampai penyusunan kepengurusan suasana Kongres kembali ricuh karena aksi demonstrasi yng dipimpin oleh Jacob Nuwa Wea berhasil menerobos masuk ke arena Kongres.
Kondisi demikian membuat pemerintah mengambil alih melalui mendagri Yogie S Memed mengusulkan membentuk caretaker. Dalam rapat formatur yang dipimpin Latief Pudjosakti Ketua DPD PDI jatim pada tanggal 25-27 Agustus 1993 akhirnya diputuskan susunan resmi caretaker DPP PDI .
Setelah gagalnya Kongres IV PDI yang berlangsung di Medan, muncul nama Megawati Soekarnoputri yang diusung oleh warga PDI untuk tampil menjadi Ketua Umum.
Megawati Soekarnoputri dianggap mampu menjadi tokoh pemersatu PDI.
Dukungan tersebut muncul dari DPC berbagai daerah yang datang kekediamannya pada tanggal 11 September 1993 sebanyak lebih dari 100 orang yang berasal dari 70 DPC. Mereka meminta Megawati tampil menjadi kandidat Ketua Umum DPP PDI melalui Kongres Luar Biasa (KLB) yang digelar pada tanggal 2-6 Desember 1993 di Asrama Haji Sukolilo, Surabaya.
Dukungan terhadap Megawati semakin kuat dan semakin melejit dalam bursa calon Ketua Umum DPP PDI. Muncul kekhawatiran Pemerintah dengan fenomena tersebut. Pemerintah tidak ingin Megawati tampil dan untuk menghadang laju Megawati ke dalam bursa pencalonan Ketua Umum, dalam acara Rapimda PDI Sumatera Utara tanggal 19 Oktober 1993 yang diadakan dalam rangka persiapan KLB muncul larangan mendukung pencalonan Megawati.
Kendati penghadangan oleh Pemerintah terhadap Megawati untuk tidak maju sebagai kandidat Ketua Umum sangat kuat, keinginan sebagian besar peserta KLB untuk menjadikan Megawati sebagai Ketua Umum DPP PDI tidak dapat dihalangi hingga akhirnya Megawati dinyatakan sebagai Ketua Umum DPP PDI periode 1993-1998 secara de facto.
Untuk menyelesaikan konflik PDI, beberapa hari setelah KLB, Mendagri bertemu Megawati, DPD-DPD dan juga caretaker untuk menyelenggarakan Munas dalam rangka membentuk formatur dan menyusun kepengurusan DPP PDI. Akhirnya Musyawarah Nasional (Munas) dilaksanakan tanggal 22-23 Desember 1993 di Jakarta dan secara de jure Megawati Soekarnoputri dikukuhkan sebagai Ketua Umum DPP PDI.
Dalam Munas ini dihasilkan kepengurusan DPP PDI periode 1993-1998. Berakhirnya Munas ternyata tidak mengakhiri konflik internal PDI.
Kelompok Yusuf Merukh membentuk DPP PDI Reshuffle walau tidak diakui oleh Pemerintah namun kegiatannya tidak pernah dilarang. Disamping itu kelompok Soerjadi sangat gencar melakukan penggalangan ke daerah-daerah dengan tujuan untuk mendapatkan dukungan menggelar Kongres.
Dari 28 pengurus DPP PDI, 16 orang anggota DPP PDI berhasil dirangkulnya untuk menggelar Kongres.
Ketua Umum DPP PDI, Megawati Soekarnoputri menolak tegas diselenggarakannya "Kongres", kemudian pada tanggal 5 Juni 1996, empat orang deklaratir fusi PDI yakni Mh Isnaeni, Sabam Sirait, Abdul Madjid dan Beng Mang Reng Say mengadakan jumpa pres menolak Kongres.Kelompok Fatimah Achmad yang didukung oleh Pemerintah tetap menyelenggarakan Kongres pada tanggal 2-23 Juni 1996 di Asrama Haji Medan dengan didukung penjagaan yang sangat ketat dari aparat keamanan lengkap dengan panser.
Pagar Asrama Haji tempat kegiatan berlangsung ditinggikan dengan kawat berduri setinggi dua meter. Disamping itu di persimpangan jalan dilakukan pemeriksaan Kartu Tanda Penduduk terhadap orang-orang yang melintas.
Warga PDI yang tetap setia mendukung Megawati demonstrasi secara besar-besaran pada tanggal 20 Juni 1996 memprotes Kongres rekayasa yang diselenggarakan oleh kelompok Fatimah Achmad, demontrasi itu berakhir bentrok dengan aparat dan saat ini dikenal dengan "Peristiwa Gambir Berdarah".
Meskipun masa pendukung Megawati yang menolak keras Kongres Medan, namun Pemerintah tetap mengakui hasil Kongres tersebut. Pemerintah mengakui secara formal keberadaan DPP PDI hasil Kongres Medan dan menyatakan PDI hasil Kongres Medan sebagai peserta Pemilu tahun 1997.
Tanggal 25 Juli 1996 Presiden Soeharto menerima 11 pengurus DPP PDI hasil Kongres Medan yang dipimpin oleh Soerjadi selaku Ketua Umum dan Buttu Hutapea selaku Sekretaris Jenderal. Hal ini semakin membuat posisi Megawati dan para pengikutnya semakin terpojok.
Masa pendukung Megawati mengadakan "Mimbar Demokrasi" dihalaman Kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro hingga pada tanggal 27 Juli 1996, kantor DPP PDI diserbu oleh ratusan orang berkaos merah yang bermaksud mengambil alih kantor DPP PDI.
Peristiwa ini kemudian dikenal dengan Peristiwa "Sabtu Kelabu 27 Juli" yang banyak menelan korban jiwa.
.
Pasca peristiwa 27 Juli, Megawati beserta jajaran pengurusnya masih tetap eksis walaupun dengan berpindah-pindah kantor dan aktivitas yang dilakukan dibawah pantauan Pemerintah.
Pada Pemilu 1997 Megawati melalui Pesan Hariannya menyatakan bahwa PDI dibawah pimpinannya tidak ikut kampanye atas nama PDI. Pemilu 1997 diikuti oleh PDI dibawah kepemimpinan Soerjadi dan hasil Pemilu menunjukan kuatnya dukungan warga PDI kepada Megawati karena hasil Pemilu PDI merosot tajam dan hanya berhasil meraih 11 kursi DPR.
.
Tahun 1998 membawa angin segar bagi PDI dibawah kepemimpinan Megawati.Di tengah besarnya keinginan masyarakat untuk melakukan reformasi politik, PDI dibawah kepemimpinan Megawati kian berkibar. Pasca Lengsernya Soeharto, dukungan terhadap PDI dibawah kepemimpinan Megawati semakin kuat, sorotan kepada PDI bukan hanya dari dalam negeri tetapi juga dari luar negeri.Pada tanggal 8-10 Oktober 1998, PDI dibawah kepemimpinan Megawati menyelenggarakan Kongres V PDI yang berlangsung di Denpasar Bali.
.
Kongres ini berlangsung secara demokratis dan dihadiri oleh para duta besar negara sahabat. Kongres ini disebut dengan "Kongres Rakyat". Karena selama kegiatan Kongres berlangsung dari mulai acara pembukaan yang diselenggarakan di lapangan Kapten Japa, Denpasar sampai acara penutupan Kongres, jalan-jalan selalu ramai dipadati warga masyarakat yang antusias mengikuti jalannya Kongres tersebut.
Di dalam Kongres V PDI, Megawati Soekarnoputri terpilih kembali menjadi Ketua Umum DPP PDI periode 1998-2003 secara aklamasi.
Didalam Kongres tersebut, Megawati diberi kewenangan khusus untuk mengambil langkah-langkah organisatoris dalam rangka eksistensi partai, NKRI dan UUD 1945, kewenangan tersebut dimasukan di dalam AD-ART PDI. Meskipun pemerintahan sudah berganti, namun yang diakui oleh Pemerintah adalah masih tetap PDI dibawah kepemimpinan Soerjadi dan Buttu Hutapea. Oleh karenanya agar dapat mengikuti Pemilu tahun 1999, Megawati mengubah nama PDI menjadi PDI Perjuangan pada tanggal 1 Februari 1999 yang disahkan oleh Notaris Rakhmat Syamsul Rizal, kemudian dideklarasikan pada tanggal 14 Februari 1999 di Istoran Senayan Jakarta.
Pemilu tahun 1999 membawa berkah bagi PDI Perjuangan, dukungan yang begitu besarnya dari masyarakat menjadikan PDI Perjuangan sebagai pemenang Pemilu dan berhasil menempatkan wakilnya di DPR sebanyak 153 orang. Dalam perjalananya kemudian, Megawati terpilih sebagai Wakil Presiden mendampingi KH Abdurahman Wahid yang terpilih didalam Sidang Paripurna MPR sebagai Presiden Republik Indonesia Ke - 4.
Untuk pertama kalinya setelah berganti nama dari PDI menjadi PDI Perjuangan, pengurus DPP PDI Perjuangan memutuskan melaksanakan Kongres I PDI Perjuangan meskipun masa bakti kepengurusan DPP sebelumnya baru selesai tahun 2003.
Salah satu alasan diselenggarakannya Kongres ini adalah untuk memantapkan konsolidasi organisasi Pasca terpilihnya Megawati sebagai Wakil Presiden RI.Kongres I PDI Perjuangan diselenggarakan pada tanggal 27 Maret - 1 April 2000 di Hotel Patra Jasa Semarang-Jawa Tengah.
Menjelang Kongres I PDI Perjuangan, sudah muncul calon-calon kandidat Ketua Umum DPP PDI Perjuangan, nama yang muncul antara lain Dimyati Hartono yang saat itu masih menjabat sebagai Ketua DPP PDI Perjuangan, kemudian muncul pula nama Eros Jarot yang sempat menggalang DPC-DPC untuk mendukungnya. Di dalam pemandangan umum Cabang-Cabang, dari 243 DPC, hanya 2 DPC yang mengusulkan nama lain yaitu DPC Kota Jayapura dalam pemandangan umumnya mengusulkan 3 orang calon Ketua Umum yaitu Megawati, Dimyati Hartono dan Eros Jarot, kemudian DPC Kota Banjarmasin mengusulkan Eros Jarot sebagai Ketuan Umum DPP PDI Perjuangan.
Kongres I PDI Perjuangan akhirnya menetapkan Megawati Soekarnoputri sebagai Ketua Umum DPP PDI Perjuangan periode 2000-2005 secara aklamasi tanpa pemilihan karena 241 dari 243 DPC mengusulkan nama Megawati sebagai Ketua Umum DPP PDI Perjuangan. Setelah Kongres I PDI Perjuangan tahun 2000, pada tahun 2001 Megawati diangkat menjadi Presiden Republik Indonesia Ke - 5 menggantikan KH Abdurahman Wahid yang diturunkan dalam Sidang Istimewa MPR-RI.
Diangkatnya Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden RI ke - 5 membawa perubahan pada sikap politik PDI Perjuangan dan cap sebagai partai penguasa melekat di PDI Perjuangan.
Meski sebagai partai penguasa, PDI Perjuangan ternyata tidak mampu meraih kemenangan di dalam Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden tahun 2004.
PDI Perjuangan hanya mampu memperoleh suara diurutan kedua dengan 109 kursi di DPR.
.
Kongres II PDI Perjuangan diselenggarakan pada tanggal 28 - 31 Maret 2005 di Hotel Grand Bali Beach, Denpasar Bali, tempat dimana Kongres V PDI diselenggarakan pada tahun 1998.
Kongres ini selesai 2 hari lebih cepat dari yang dijadwalkan yaitu 28 Maret - 2 April 2005. Menjelang Kongres II PDI Perjuangan diselenggarakan, sudah banyak muncul nama-nama yang akan maju sebagai calon kandidat Ketua Umum DPP PDI Perjuangan antara lain Guruh Soekarnoputra yang digagas oleh Imam Mundjiat Ketua DPD PDI Perjuangan Kalimantan Timur, Laksamana Sukardi, Roy BB Janis, Arifin Panigoro dan Sophan Sophiaan.
Masing-masing calon tersebut giat melakukan penggalangan kekuatan di daerah. Disamping itu kelima calon tersebut beberapa kali mengadakan pertemuan-pertemuan di beberapa hotel di Jakarta salah satunya pertemuan di Sahid Jaya Hotel. Di kemudian hari kelima calon ini bergabung menjadi satu dalam satu wadah yang dinamakan "Kelompok Gerakan Pembaruan PDI Perjuangan" yang mengusung satu nama calon Ketua Umum DPP PDI Perjuangan yaitu Guruh Sukarno Putra.
Di dalam sidang paripurna pertama, sidang sempat ricuh saat pembahasan tata tertib yang diikuti beberapa peserta walk out dari arena sidang.
Namun sidang paripurna tetap berlangsung setelah Ir. Sutjipto selaku pimpinan sidang mengajukan penawaran kepada peserta yang menolak Pasal 7 tata tertib untuk berdiri dan yang menyetujui tetap duduk, ternyata dari 1822 peserta hanya beberapa orang yang berdiri dan sidang dilanjutkan kembali.
Kongres II PDI Perjuangan akhirnya berakhir pada tanggal 31 Maret 2005 setelah Megawati dikukuhkan sebagai Ketua Umum terpilih karena seluruh peserta dalam pemandangan umumnya mengusulkan Megawati menjadi Ketua Umum DPP PDI Perjuangan periode 2005-2010.

Kebijakan Ekonomi Sarat Kepentingan Asing

Sri Adiningsih
JAKARTA (Suara Karya):



Sulit untuk mengharapkan kebijakan ekonomi Indonesia bersih dari kepentingan lembaga multilateral atau negara donor asing. Sebab, Pemerintah Indonesia masih mengandalkan pinjaman luar negeri untuk membiayai sejumlah program.


Pandangan ini dikemukakan Ketua Umum Koalisasi Anti Utang Kusfiardi, ekonom UGM Sri Adiningsih, dan Deputy Director Head of Advocacy Division Infid Dian Kartika Sari. Ketiganya dihubungi Suara Karya secara terpisah di Jakarta, Senin (19/11) kemarin, menanggapi masalah seputar kemandirian ekonomi di tengah besarnya utang luar negeri Indonesia. Masalah ini berpengaruh terhadap optimisme bangsa mengenai kemajuan ekonomi nasional.
Menurut mereka, entah kapan kemandirian ekonomi bangsa bisa terwujud, karena pemerintah terkesan sulit mengelak dari tawaran pinjaman luar negeri. Lembaga multilateral seperti Dana Moneter Internasional dan Bank Dunia plus sejumlah negara donor gencar "memaksa" pemerintah merealisasikan pinjaman dari mereka atas nama sejumlah program yang tidak jelas peruntukannya.
Bahkan lembaga dan negara donor berani memberi iming-iming hibah dalam jumlah besar jika Pemerintah Indonesia "konsisten" mengandalkan utang luar negeri. Semua itu dilakukan untuk memperkuat cengkraman mereka, agar bisa terus meraih keuntungan dari Indonesia. Selain dari bunga pinjaman, keuntungan lain bagi lembaga dan negara donor adalah menguasai sumber-sumber ekonomi di Indonesia.


Kusfiardi khawatir Indonesia tidak akan pernah menjadi bangsa yang mandiri, bila pemerintah masih mengandalkan utang luar negeri sebagai bagian tak terpisahkan dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Apalagi, dengan iming-iming hibah, pemerintah kerap terjebak "rayuan" utang untuk pembiayaan sejumlah program yang sengaja dibuat untuk menghabiskan dana pinjaman dari luar negeri. Padahal, penggunaan dan realisasi dari pinjaman itu tidak jelas, selain hanya menambah beban jumlah utang luar negeri.
"Kita tidak pernah realistis bahwa persoalan kita adalah beban utang yang sudah besar. Namun, bukannya dikurangi, pemerintah justru terus mengupayakan segala cara untuk menambah utang baru. Semua itu harus dibayar (utang plus bunga) dan diselesaikan. Selama itu pula kita akan tetap tergantung pada asing. Melalui beban utang itu, asing dengan seenaknya mengambil sumber-sumber ekonomi kita," kata Kusfiardi.
Dia menambahkan, agar bisa lepas dari cengkraman asing dan memulai kebijakan ekonomi yang lebih mandiri, pemerintah harus berani mendorong penghapusan utang luar negeri. Apalagi, tidak sedikit dari komitmen utang luar negeri itu tidak direalisasikan para kreditor. Kalaupun direalisasikan, bukan untuk program yang bisa menstimulus perekonomian dan pemberdayaan usaha rakyat.

Menurut Kusfiardi, pemerintah bisa menghapus utang luar negeri. Untuk tahap awal, pemerintah tidak perlu mencairkan utang yang berasal dari komitmen lama, serta utang yang tidak bisa cair karena ketiadaan program.
"Berdasarkan data Depkeu pada 2005, komitmen utang sebesar 365 miliar dolar AS hanya bisa dicairkan 162 miliar dolar AS. Artinya, ada 203 miliar dolar AS yang belum bisa dicairkan. Komitmen Indonesia atas utang luar negeri itu sudah dikenakan biaya, namanya commitment fee yang besarannya sekian persen dari 203 miliar dolar AS. Itu sia-sia. Kita bisa minta penghapusan atas kewajiban atau biaya dari komitmen utang yang tidak direalisasikan," ujarnya.


Sementara itu, Sri Adiningsih mengatakan, pemerintah tidak memiliki perencanaan jelas dalam pembangunan ekonomi. Buktinya, APBN sebagai dasar perencanaan keuangan negara selama setahun hanya diprioritaskan membayar utang luar negeri. Entah bagaimana pengelolaannya, anggaran pembangunan begitu sulit direalisasikan. Yang dipentingkan adalah bayar utang.
"Realisasi anggaran terus-menerus rendah. Baru pada akhir tahun semua dana dikeluarkan sampai habis. Sementara pos-pos utang luar negeri tetap dijaga. Hal itu pasti membuat realisasi dana tidak berkualitas dan APBN hanya sibuk untuk membayar utang luar negeri yang justru terus ditambah atas nama program-program yang tidak jelas," katanya.


Dia menyarankan pemerintah melakukan evaluasi kebijakan ekonomi, sekaligus menghilangkan kesan lebih mementingkan negara dan lembaga donor asing. "Kita perlu melakukan evaluasi karena liberalisasi saat ini sudah sangat bebas. Liberalisasi ini merupakan bukti bahwa kekuatan asing masih kuat di Indonesia, terutama dalam hal intervensi kebijakan ekonomi makro dan keuangan," ujarnya.
Evaluasi, menurut Adiningsih, perlu dilakukan agar Indonesia tidak makin terpuruk. Seharusnya tekanan asing segera dihilangkan dengan kebijakan ekonomi yang mengandalkan potensi ekonomi negara. "Saya lihat tekanan asing terhadap kebijakan ekonomi pemerintah sudah tidak membuat bangsa ini mandiri lagi. Sebab, mulai dari kebijakan hingga berbagai produk serta jasa yang masuk dari luar negeri dikendalikan asing. Di mana nasionalisme kita kalau semua sudah dikuasai asing?" tanyanya.


Intervensi asing, menurut Sri Adiningsih, sulit ditampik karena manajemen utang tak kunjung dibenahi. Bahkan pos utang dalam negeri yang harus dibayar pemerintah, baik melalui obligasi negara dan pasar modal, merupakan kepanjangan tangan asing. "Ketergantungan itu (utang luar negeri) tidak bisa dihindari sepanjang pemerintah masih menggunakan utang dalam anggaran negara. Sebab itu, utang harus segera diselesaikan, agar Indonesia tidak lagi tergantung pada pemberi utang," tutur Adiningsih.
Secara terpisah, Kartika Sari menjelaskan, lembaga dan negara donor asing selalu mendesak pemerintah tetap setia mempertahankan paradigma pertumbuhan ekonomi sebagai pedoman pembangunan ekonomi makro. Namun, fakta di Indonesia membuktikan pertumbuhan ekonomi tidak memberi kontribusi dalam mengurangi kemiskinan.
Bahkan pertumbuhan ekonomi Indonesia dicapai dengan mengorbankan kepentingan rakyat, seperti penghapusan subsidi, privatisasi layanan publik, dan liberalisasi perdagangan serta investasi asing yang rawan perusakan lingkungan dan konflik dengan masyarakat. Pertumbuhan ekonomi bahkan tidak mampu mendorong tumbuhnya sektor riil. Akibatnya, angka pengangguran tinggi.


"Pemerintah dikondisikan untuk terus patuh pada seluruh petuah lembaga dan negara donor asing. Padahal sejarah membuktikan, gara-gara resep Bank Dunia, Indonesia terpuruk dalam krisis ekonomi berkepanjangan," ujarnya.
Sementara itu, program-program pemerintah atas nama pemberdayaan ekonomi rakyat dan pengentasan kemiskinan, justru menambah beban utang negara. Ini terlihat dari laporan Bank Dunia pada Juni 2007 yang menyebutkan bahwa utang Indonesia ke Bank Dunia belum lunas sampai tahun 2041.

Suara Karya, Selasa, 20 Nopember 2007