Sabtu, 24 November 2007

Kebijakan Ekonomi Sarat Kepentingan Asing

Sri Adiningsih
JAKARTA (Suara Karya):



Sulit untuk mengharapkan kebijakan ekonomi Indonesia bersih dari kepentingan lembaga multilateral atau negara donor asing. Sebab, Pemerintah Indonesia masih mengandalkan pinjaman luar negeri untuk membiayai sejumlah program.


Pandangan ini dikemukakan Ketua Umum Koalisasi Anti Utang Kusfiardi, ekonom UGM Sri Adiningsih, dan Deputy Director Head of Advocacy Division Infid Dian Kartika Sari. Ketiganya dihubungi Suara Karya secara terpisah di Jakarta, Senin (19/11) kemarin, menanggapi masalah seputar kemandirian ekonomi di tengah besarnya utang luar negeri Indonesia. Masalah ini berpengaruh terhadap optimisme bangsa mengenai kemajuan ekonomi nasional.
Menurut mereka, entah kapan kemandirian ekonomi bangsa bisa terwujud, karena pemerintah terkesan sulit mengelak dari tawaran pinjaman luar negeri. Lembaga multilateral seperti Dana Moneter Internasional dan Bank Dunia plus sejumlah negara donor gencar "memaksa" pemerintah merealisasikan pinjaman dari mereka atas nama sejumlah program yang tidak jelas peruntukannya.
Bahkan lembaga dan negara donor berani memberi iming-iming hibah dalam jumlah besar jika Pemerintah Indonesia "konsisten" mengandalkan utang luar negeri. Semua itu dilakukan untuk memperkuat cengkraman mereka, agar bisa terus meraih keuntungan dari Indonesia. Selain dari bunga pinjaman, keuntungan lain bagi lembaga dan negara donor adalah menguasai sumber-sumber ekonomi di Indonesia.


Kusfiardi khawatir Indonesia tidak akan pernah menjadi bangsa yang mandiri, bila pemerintah masih mengandalkan utang luar negeri sebagai bagian tak terpisahkan dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Apalagi, dengan iming-iming hibah, pemerintah kerap terjebak "rayuan" utang untuk pembiayaan sejumlah program yang sengaja dibuat untuk menghabiskan dana pinjaman dari luar negeri. Padahal, penggunaan dan realisasi dari pinjaman itu tidak jelas, selain hanya menambah beban jumlah utang luar negeri.
"Kita tidak pernah realistis bahwa persoalan kita adalah beban utang yang sudah besar. Namun, bukannya dikurangi, pemerintah justru terus mengupayakan segala cara untuk menambah utang baru. Semua itu harus dibayar (utang plus bunga) dan diselesaikan. Selama itu pula kita akan tetap tergantung pada asing. Melalui beban utang itu, asing dengan seenaknya mengambil sumber-sumber ekonomi kita," kata Kusfiardi.
Dia menambahkan, agar bisa lepas dari cengkraman asing dan memulai kebijakan ekonomi yang lebih mandiri, pemerintah harus berani mendorong penghapusan utang luar negeri. Apalagi, tidak sedikit dari komitmen utang luar negeri itu tidak direalisasikan para kreditor. Kalaupun direalisasikan, bukan untuk program yang bisa menstimulus perekonomian dan pemberdayaan usaha rakyat.

Menurut Kusfiardi, pemerintah bisa menghapus utang luar negeri. Untuk tahap awal, pemerintah tidak perlu mencairkan utang yang berasal dari komitmen lama, serta utang yang tidak bisa cair karena ketiadaan program.
"Berdasarkan data Depkeu pada 2005, komitmen utang sebesar 365 miliar dolar AS hanya bisa dicairkan 162 miliar dolar AS. Artinya, ada 203 miliar dolar AS yang belum bisa dicairkan. Komitmen Indonesia atas utang luar negeri itu sudah dikenakan biaya, namanya commitment fee yang besarannya sekian persen dari 203 miliar dolar AS. Itu sia-sia. Kita bisa minta penghapusan atas kewajiban atau biaya dari komitmen utang yang tidak direalisasikan," ujarnya.


Sementara itu, Sri Adiningsih mengatakan, pemerintah tidak memiliki perencanaan jelas dalam pembangunan ekonomi. Buktinya, APBN sebagai dasar perencanaan keuangan negara selama setahun hanya diprioritaskan membayar utang luar negeri. Entah bagaimana pengelolaannya, anggaran pembangunan begitu sulit direalisasikan. Yang dipentingkan adalah bayar utang.
"Realisasi anggaran terus-menerus rendah. Baru pada akhir tahun semua dana dikeluarkan sampai habis. Sementara pos-pos utang luar negeri tetap dijaga. Hal itu pasti membuat realisasi dana tidak berkualitas dan APBN hanya sibuk untuk membayar utang luar negeri yang justru terus ditambah atas nama program-program yang tidak jelas," katanya.


Dia menyarankan pemerintah melakukan evaluasi kebijakan ekonomi, sekaligus menghilangkan kesan lebih mementingkan negara dan lembaga donor asing. "Kita perlu melakukan evaluasi karena liberalisasi saat ini sudah sangat bebas. Liberalisasi ini merupakan bukti bahwa kekuatan asing masih kuat di Indonesia, terutama dalam hal intervensi kebijakan ekonomi makro dan keuangan," ujarnya.
Evaluasi, menurut Adiningsih, perlu dilakukan agar Indonesia tidak makin terpuruk. Seharusnya tekanan asing segera dihilangkan dengan kebijakan ekonomi yang mengandalkan potensi ekonomi negara. "Saya lihat tekanan asing terhadap kebijakan ekonomi pemerintah sudah tidak membuat bangsa ini mandiri lagi. Sebab, mulai dari kebijakan hingga berbagai produk serta jasa yang masuk dari luar negeri dikendalikan asing. Di mana nasionalisme kita kalau semua sudah dikuasai asing?" tanyanya.


Intervensi asing, menurut Sri Adiningsih, sulit ditampik karena manajemen utang tak kunjung dibenahi. Bahkan pos utang dalam negeri yang harus dibayar pemerintah, baik melalui obligasi negara dan pasar modal, merupakan kepanjangan tangan asing. "Ketergantungan itu (utang luar negeri) tidak bisa dihindari sepanjang pemerintah masih menggunakan utang dalam anggaran negara. Sebab itu, utang harus segera diselesaikan, agar Indonesia tidak lagi tergantung pada pemberi utang," tutur Adiningsih.
Secara terpisah, Kartika Sari menjelaskan, lembaga dan negara donor asing selalu mendesak pemerintah tetap setia mempertahankan paradigma pertumbuhan ekonomi sebagai pedoman pembangunan ekonomi makro. Namun, fakta di Indonesia membuktikan pertumbuhan ekonomi tidak memberi kontribusi dalam mengurangi kemiskinan.
Bahkan pertumbuhan ekonomi Indonesia dicapai dengan mengorbankan kepentingan rakyat, seperti penghapusan subsidi, privatisasi layanan publik, dan liberalisasi perdagangan serta investasi asing yang rawan perusakan lingkungan dan konflik dengan masyarakat. Pertumbuhan ekonomi bahkan tidak mampu mendorong tumbuhnya sektor riil. Akibatnya, angka pengangguran tinggi.


"Pemerintah dikondisikan untuk terus patuh pada seluruh petuah lembaga dan negara donor asing. Padahal sejarah membuktikan, gara-gara resep Bank Dunia, Indonesia terpuruk dalam krisis ekonomi berkepanjangan," ujarnya.
Sementara itu, program-program pemerintah atas nama pemberdayaan ekonomi rakyat dan pengentasan kemiskinan, justru menambah beban utang negara. Ini terlihat dari laporan Bank Dunia pada Juni 2007 yang menyebutkan bahwa utang Indonesia ke Bank Dunia belum lunas sampai tahun 2041.

Suara Karya, Selasa, 20 Nopember 2007

Tidak ada komentar: