Minggu, 25 November 2007

Nasionalisme Kita, Nasionalisme Multikultur

Alif Lukmanul Hakim*
Published by Korwil on 12/Nov/2007 (19 reads)

Jerman, Inggris, Prancis, Italia, dan Yunani menjadi suatu negara bangsa karena kesamaan bahasa. Australia menjadi satu bangsa karena kesamaan wilayah daratan. Jepang, Korea, dan negara-negara di Timur Tengah menjadi satu negara karena kesamaan ras atau warna kulit dan latar belakang sosiokultural.Sementara itu, realitas kebangsaan Indonesia dipengaruhi latar belakang yang unik dan spesifik (Hakim, 2007: 104).
.
Substansi nasionalisme Indonesia memiliki dua unsur.
  • Pertama, kesadaran mengenai persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia yang terdiri atas berbagai suku, etnik, dan agama.
  • Kedua, kesadaran bersama bangsa Indonesia dalam menghapuskan segala bentuk pensubordinasian, penjajahan, dan penindasan dari bumi Indonesia.

Semangat dari dua substansi tersebutlah yang kemudian tercermin dalam Sumpah Pemuda dan Proklamasi serta dalam Pembukaan UUD 1945.

Berbicara tentang nasionalisme Indonesia, perlu dicatat bahwa kita tidak dapat menyepadankannya begitu saja dengan nasionalisme Barat. Nasionalisme Indonesia adalah nasionalisme berfondasi Pancasila. Nasionalisme yang bersenyawa dengan keadilan sosial, yang oleh Bung Karno disebut Socio-nasionalisme. Nasionalisme yang demikian ini menghendaki penghargaan, penghormatan, toleransi kepada bangsa atau suku bangsa lain. Maka nasionalisme Indonesia berbeda dengan nasionalisme Barat yang bisa menjurus kepada sikap chauvinistik dan ethnonationalism --nasionalisme sempit-- yang membenci bangsa atau suku bangsa lain, menganggap bangsa atau suku bangsa sendirilah yang paling bagus, paling unggul, sesuai dengan individualisme Barat.

Pertanyaannya sekarang, apakah benar demikian adanya nasionalisne Indonesia itu? Apakah nasionalisme Indonesia benar-benar telah berfondasikan Pancasila? Kita harus kembali terlebih dahulu pada apa yang disebut bangsa Indonesia sebenarnya mencakup pluralitas suku bangsa. Ia tidak kurang dari 250 kelompok etnis, atau --data terbaru-- bahkan menyebut mencakup tidak kurang dari 600 kelompok suku bangsa. Sehingga sebenarnya bila kriteria nation-state diterapkan, identitas state-nation lebih layak untuk disematkan pada Indonesia.

Dalam formasi masyarakat yang demikian, bangsa Indonesia akan terjangkiti dua penyakit.

Pertama, masyarakat yang terdiri dari beragam etnis sangat rentan akan terjadinya dominasi satu kelompok terhadap kelompok yang lain. Jika salah satu kelompok etnis mendominasi ruang-ruang publik kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, hal ini akan memancing perlawanan atau kontra dominasi dan kontra hegemoni dari kelompok etnis yang tersubordinasi atau termarginalkan. Celakanya, jika negara sebagai institusi formal gagal menyediakan medan dan sarana kontestasi publik dengan mekanisme pembagian kekuasaan yang jujur dan terbuka, konflik etnopolitiklah yang akan muncul sebagai akibatnya. Konflik etnopolitik adalah konflik yang melibatkan unsur-unsur sentimen etnik. Ada empat jenis gerakan etnopolitik, yakni ethnonationalist, indigenous people, communal contenders, dan ethnoclasses. Berdasarkan targetnya, dua jenis yang pertama (ethnonationalist dan indigenous people) digolongkan sebagai kelompok yang menghendaki pemisahan diri atau "otonomi" dari negara yang memerintah mereka. Sedangkan dua jenis kelompok yang terakhir, communal contenders dan ethnoclasses, tidak menghendaki pemisahan melainkan ingin mengupayakan akses yang lebih besar dari yang telah diberikan oleh negara yang memerintah mereka. Pengelompokan-pengelompokan ini sifatnya masih sangat tentatif, tetapi yang jelas, kesenjangan antaretnis dan antarkawasan adalah salah satu penyebab dan sumber permasalahan yang dapat menjelaskan berbagai pergolakan yang menuju pada disintegrasi bangsa.

Problem intrinsik yang kedua adalah nation-state cenderung untuk berwatak totaliter. Selama masa Orde Baru, totaliterisme dan otoritarianisme negara mengemuka begitu dahsyat. Negara, secara sentralistik dan hegemonik, mengatur semua segi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Akibatnya, hampir tidak ada ruang gerak bagi tumbuh dan berkembangnya civil society. Kesenjangan antara pusat dan daerah seakan sudah tidak mampu terjembatani lagi. Gejala otonomi daerah, meskipun mengandung banyak sekali distorsi, sepertinya adalah jalan tengah untuk mengurangi watak totaliter nation-state. Otonomi daerah dan penerapannya di lapangan memang memerlukan proses, namun diharapkan tidak memakan waktu yang lama dan ongkos sosial (social cost) yang terlampau mahal.

Ketika proses membangun bangsa Indonesia masih berjalan, muncul tantangan dan telikungan dari arus kapitalisme global sebagai corong globalisasi. Nasionalisme yang dapat dikembangkan saat ini adalah nasionalisme yang tidak lagi bercorak autarkis. Melainkan harus berlandaskan dua hal. Secara eksternal, nasionalisme yang harus dikembangkan adalah nasionalisme strategis.

Nasionalisme yang tidak menolak fakta globalisasi, namun tetap mengedepankan dan mendahulukan kepentingan nasional. Nasionalisme yang menjadikan pertarungan antarnegara atau kekuatan global sebagai musuh bersama (common enemy), dan bukan menempatkan suku bangsa, aliran, atau golongan masyarakat Indonesia sebagai entitas yang harus ditundukkan. Secara internal, bentuk nasionalisme yang harus diciptakan adalah nasionalisme kewargaan, nasionalisme yang dibangun berlandaskan nilai-nilai rasional sesuai Pancasila seperti, moralitas-ketuhanan, akuntabilitas publik atau transparansi, keadilan sosial, humanis, kebebasan individu dan hak-hak sipil lainnya.

Akhirnya, bentuk nasionalisme yang paling kompatibel untuk dikembangkan di Indonesia adalah spirit nasionalisme multikultural --nasionalisme strategis dan civic nationalism-- yang mampu menyinergikan ketiga domain utama yang ada, yakni negara (state), pasar (market), dan masyarakat luas (people). Dengan demikian, negara yang kuat, bersih, dan responsif serta menjamin hak-hak sipil warganya, vibrant civil society yang mantap-dinamis dan kehidupan usaha dan bisnis yang manusiawi serta bertanggung jawab bukanlah angan-angan di siang bolong an sich.***


* Penulis, Asisten Dosen di Fakultas Filsafat UGM. Dosen di Akademi Manajemen Putra Jaya Yogyakarta.
Sumber: Pikiran Rakyat, Senin, 12 November 2007

Tidak ada komentar: